Tuhan mau-Mu apa sih? Stress aku!
Dua hari lalu dalam doa pagi saya digerakkan untuk menulis renungan ini. Tetapi kemarin seharian saya sibuk dan pagi hari ini ada tiga urusan yang harus saya selesaikan, dan bisa diselesaikan setelah sebelum makan siang, maka setelah makan siang barulah saya mulai menulis renungan ini.
Saya merasa bahwa banyak orang yang sedang mengalami fase dari bingung, jengkel, marah, ngamuk kepada Tuhan—bahkan mungkin mulai kecewa kepada Tuhan. Dan apa yang saya pernah alami bisa memberi sedikit pencerahan di tengah awan gemawan gelap, hari-hari berkabut tebal, lembah bayang-bayang maut, deru badai topan, himpitan dan hempasan tekanan dan pergumulan.
Melalui proses dari tahun awal tahun 1990 sampai sekarang, sangat banyak hal sangat menyakitkan yang saya alami dan banyak kondisi, peristiwa menyesakkan yang saya alami. Di tengah masalah, saya bingung, marah dan mengamuk kepada Tuhan, merasa Dia telah menipu saya, meninggalkan saya, dan tidak bertanggung jawab atas hidup saya. Padahal kalau Dia mau, Dia bisa dalam sekejab membereskan semua problem saya. Saya percaya Dia sangat berkuasa dan tidak ada masalah saya yang Dia tidak sanggup bereskan. Saya sangat percaya hal itu, tetapi Dia sama sekali tidak menunjukkan kuasaNya untuk membereskan pergumulan saya, malah membiarkan saya tetap ada dalam tekanan dan himpitan bertahun-tahun. Dia seperti tidak peduli dan menutup mata dan telinga terhadap apa yang saya sedang hadapi.
Saya sudah mentaati Dia; meninggalkan karier dan pekerjaan seperti yang diperintahkanNya—walau saya tinggalkan setelah berdebat berbulan-bulan dengan Roh Kudus. Di awal panggilan, saya bingung karena cita-cita hidup saya adalah jadi pengusaha bukan jadi hamba Tuhan. Dan gembala saya sering mengkhotbahkan kalau sejak kecil kita melayani Tuhan maka semua cita-cita kita akan tercapai. Saya sejak remaja sudah ambil bagian pelayanan di koor gereja. Jadi ketika Tuhan ungkapkan bahwa saya akan jadi hamba Tuhan, saya bingung tingkat tinggi. Tuhan yang mana ini yang suruh saya jadi hamba Tuhan, kan cita-cita saya jadi pengusaha. Berbeda dengan Tuhan yang sering dikhotbahkan di mimbar, yang akan membuat saya bisa meraih impian dan cita-cita hidup saya.
Walau pernah satu kali ketika saya sakit dan bapak gembala saya datang bezuk dan mengelus saya, saya merasa pekerjaan gembala adalah pekerjaan yang mulia, sehingga waktu di SMP ketika ada guru yang bertanya di kelas kami apa cita-cita masing-masing kami, saya dengan lantang menjawab cita-cita jadi hamba Tuhan, yang saya ingat teman sekelas geger dan semua tertawa akan jawaban saya. Tetapi kemudian saya melihat hidup bapak gembala saya dengan mobil tuanya merk Moskvich, beda dengan hidup jemaat yang pengusaha di gereja kami. Pendeta untuk dapat beli sesuatu, doa ribuan kali belum tentu dapat, pengusaha mau beli apa saja tidak perlu doa bisa langsung beli. Jadi lebih enak jadi pengusaha saja. Juga karena pengalaman masa kecil membuat saya bertekad untuk jadi pengusaha.
Lha, saya sudah tinggalkan karier, tapi panggilan tidak jelas dan bagaimana memulainya, kapan, di mana semua gelap gulita. Saya jadi pengangguran tanpa status yang bikin super minder. Walau bingung akan Tuhan yang berbeda dengan yang diajarkan di mimbar, saya akhirnya menurut dan pulang kampung. Sudah untung toh Tuhan, walau saya bingung dan Tuhan dalam pesepsi saya berbeda 180 derajat dari Tuhan yang menyatakan diri kepada saya. Saya sudah menunggu perintah selanjutnya bertahun-tahun. Sisa tabungan saya sudah menipis dan bahkan sampai habis, kemudian hidup jadi parasit lagi kepada orang tua. Saya sudah berdoa 7 jam sehari, saya pernah puasa selama 2 tahun, puasa penuh 24 jam tidak makan minum. Setelah buka puasa jam 18.00 saya puasa penuh lagi sampai jam 18.00 hari berikutnya selama 2 tahun. Sudah membaca Alkitab dengan berbagai versi mulai dari Alkitab versi ITB (Indonesia Terjemahan Baru), King James, New King James, Amplified, New International Version, dan banyak versi lain yang saya lalap habis. Tetap tidak ada perubahan apapun dalam situasi dan kondisi hidup saya.
Waktu kuliah di Nusa Dua, saya rajin ibadah ke gereja GBT di jalan Teuku Umar, Denpasar, walau jauh dari kost saya di banjar Penyarikan, Bualu, Nusa Dua. Ibadah pendalaman Alkitab tengah minggu juga saya selalu hadir. Hari Minggu saya hadir ibadah 3 kali, sesi pagi, sore dan dilanjutkan ibadah petang di gereja daerah Sudirman, Denpasar yang dilayani gembala GBT. Pagi-pagi hari Minggu jam 6 saya harus bangun mandi kemudian ngebut dari Nusa Dua naik motor ke gereja jalan Teuku Umar, setelah itu balik ke Nusa Dua lagi cuci pakaian, istirahat dan jam 3 sore balik ke gereja GBT untuk ikut ibadah lagi yang jam 4 sore dan jam 6 sore di daerah Sudirman. Setelah ibadah petang cari makan di sekitar Teuku Umar kemudian balik lagi ke Nusa Dua. Setelah kerja, rajin bayar perpuluhan, ditambah rajin ke Denpasar Praise Centre di daerah gedung Dharma Graha Lumintang yang diadakan setiap senin malam. Lha kurang apa lagi saya sebagai anak muda? Dari remaja (SMP) ambil bagian pelayanan, ke gereja rajin, bayar perpuluhan setia. Rasanya saya lebih baik dari banyak anak muda yang hidupnya ngawur. Berarti saya kan anak Tuhan yang baik, yang semestinya Tuhan makin berkati dan semua cita-cita saya Tuhan bukakan jalan lebar dan lurus sehingga saya bisa ngebut meraih impian saya. Ternyata Tuhan tidak seperti itu.
Kata firmanNya Dia tidak pernah terlambat, tapi bertahun-tahun kondisi dan situasi sama plek, tidak ada sedikitpun perubahan. Bukankah berarti Dia lambat sekali? Katanya rancanganNya untuk memberi masa depan yang cerah, lha punya karier dan penghasilan enak, disuruh tinggalkan, terus jadi pengangguran bertahun-tahun, itu rancangan apa? Katanya kalau setia bayar perpuluhan tingkap langit dibukakan, lha ini tabungan sisa kerja abis..bis..bis, dan jadi parasit lagi terhadap orang tua. Tingkap langit mana yang dibuka? Kalaupun ada tingkap yang dibuka, pasti salah buka tingkapnya, bukan hujan berkat, tapi ini hujan batu, bikin babak belur, minder, tanpa status, tanpa penghasilan. Katanya Dia akan mengangkat untuk jadi terkenal dan terhormat, ini malah minder—kalau ketemu teman maunya jangan sampai dikenali karena nanti kalau ditanya sekarang kerja apa, bingung jawabnya dan kepala rasanya pengen ditarik masukan ke dalam rongga dada kalau bisa. Berharap seperti penyu yang bisa menarik kepalanya mundur ke dalam tempurung supaya tidak disapa apalagi dikenali teman-teman yang sudah sukses.
Katanya di tangan kananNya umur panjang dan di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan, mana tanganNya itu? Saya jadi pengangguran karena taat, dan saya hanya minta Dia keluarkan saya dari kondisi itu dan kembalikan saya untuk bekerja agar ada status, harga diri, komunitas dan penghasilan. Dia tidak melakukannya sama sekali. Dia perintahkan sesuatu kemudian Dia menghilang dan tidak bertanggung jawab ketika keadaan menjadi semakin buruk. Saya ingat waktu di Singapore saya bisa makan di klub members only, bersama pimpinan cabang bank Amerika. Makan di Marina dengan mobil berstiker khusus. Saya kenal baik CEO (Settlement) bank terbesar no. 4 di Asia waktu itu. Saya kenal jendral dengan beberapa bintang di pundak, dan lain-lain. Jadi apa saya setelah taat? Hancur, remuk—dari somebody jadi nobody. Inikah upah ketaatan? Belakangan setelah saya banyak berubah baru saya mengerti Dia bukan seperti yang saya tuduhkan kepadaNya. Dia tidak meninggalkan saya, tapi karena Dia tidak bekerja seperti yang saya mau, maka saya beranggapan Dia meninggalkan saya, padahal dia tidak pernah melepaskan saya untuk berjalan sendiri, Dia rindu memimpin hidup saya. Dia bukan tidak bertanggung jawab ketika keadaan bertambah buruk, justru Dia sangat bertangung jawab dengan memproses saya agar rencanaNya dalam hidup saya bisa tergenapi. Saya anggap Dia tidak tanggung jawab karena saya menginginkan perubahan luar, sementara Dia fokus pada bagian dalam (manusia batiniah) saya. Jadi saya tidak melihat Dia bekerja pada lokasi (baca: aspek) yang saya inginkan, karena Dia mengerjakan bagian lain yang tidak saya inginkan.
Walau kemudian titik terang panggilan mulai terlihat 8 tahun setelah melepas karier, tetapi untuk naik satu tangga saja, lamanya dan sakitnya proses luar biasa. Nothing ever comes so easy to me, everything comes with a sacrifice. Ketika saya mulai khotbah di gereja-gereja dan persekutuan, banyak yang hadir lebih suka khotbah janji dan penghiburan, dan yang paling ditunggu adalah doa-doa pribadi dan nubuat–nubuat pribadi dan kesembuhan ilahi lewat karunia perkataan pengetahuan, membedakan roh dan kesembuhan. Tetapi Tuhan tidak menaruh di hati saya pesan yang mereka inginkan, mereka menginginkan perbaikan kondisi hidup, tetapi Tuhan menghendaki pribadi mereka yang berubah. Sekalipun setelah Firman disampaikan Roh Kudus bekerja meneguhkan berita firman dengan tanda, nubuatan dan kesembuhan, tetap saja banyak tantangan, cemooh dan fitnah.
Bahkan saya ingat ketika saya pelayanan di negeri Belanda, gembala gereja yang saya layani cerita bahwa beberapa hari sebelumnya dia mendapat telpon dari Indonesia khusus menginformasikan hal-hal buruk tentang saya. Sampai Eropapun tetap dikejar untuk dihancurkan, kalah dah rudal antar benua milik negara-negara super power. Syukurnya itu bukan pelayanan saya yang pertama di gerejanya, tapi di tahun sebelumnya saya sudah pelayanan firman di sana, sehingga dia tidak terpengaruh akan isu-isu itu. Padahal saya tidak pernah menyebut nama, sinode, doktrin tertentu atau menyinggung hamba Tuhan tertentu, tetapi herannya demikian banyak orang yang memusuhi saya. Sehingga pada satu titik saya meragukan Roh yang menyuruh saya berbicara. Asumsi saya, kalau itu Roh Tuhan pastilah hamba Tuhan akan menerima pesan yang saya sampaikan. Tetapi ini demikian banyak yang menolak, menentang bahkan menjadikan saya bahan khotbah di mimbar. Ada satu yang yang berbekas ketika seorang dokter teologi yang gerejanya dulu tempat saya bergabung dan saya banyak melayani di sana, mengatakan di mimbar: “Tidak mungkin manusia bisa berbicara dengan Roh Kudus seperti itu!” Karena setiap habis menyampaikan firman, sebelum menyerahkan kembali mimbar biasanya saya berdoa karena mungkin ada pesan ataupun lawatan pribadi Tuhan kepada jemaat yang hadir. Dan biasanya banyak lawatan pribadi; entah tentang pergumulan, lawatan, atau kesembuhan. Titik burn out dan break down saya alami ketika saya menangis di kaki Tuhan dengan menjerit dalam kepedihan dan luka: “Tuhan jangan-jangan bukan RohMu yang ada di dalam saya, kenapa begitu banyak hambaMu menentang saya? Kalau itu RohMu pastilah mereka menerima apa yang Engkau suruh sampaikan.” Roh Kudus tidak menjawab apapun ketika saya meragukan tentang perintah yang RohNya sampaikan. Padahal saya hafal ayat yang mengatakan yang diperanakkan dari daging akan menganiaya yang diperanakkan menurut Roh (Galatia 4:29).
Bahkan tidak jarang saya waktu diundang hanya diharapkan sharing firman 15 menit kemudian disuruh doa-doa pribadi dan penumpangan tangan. Tidak cukup menumpangkan tangan ke mereka dan mendoakan mereka, mereka akan berharap dan menunggu pesan-pesan pribadi buat mereka. Dan pesan-pesan itu haruslah yang enak di telinga mereka tentang janji berkat harta duniawi, kekayaan, promosi Tuhan. Waktu khotbah dibatasi, tema khotbah harus berkat, harus doa pribadi, harus ada pesan yang dibatasi hanya janji-janji Tuhan, bukan teguran apalagi hardikan. Ini jenis apa, ndak tahu dah. Angel, wes, angel. Penyesatan terselubung, dan pemanjaan jemaat pasti bukan dilakukan orang yang murni melayani, tetapi mereka melayani perut mereka sendiri.
Ketika saya banyak undangan pelayanan, mantan gembala saya mendatangi gereja yang mengundang saya dan bicara bahwa saya punya roh pemberontakan, jadi nanti jemaat akan diajar berontak. Mereka langsung percaya saja, karena dia dulu mantan WL utama gereja itu—sisa jadwal saya di sana langsung dibatalkan. Tidak puas sampai di sana, dia hasut orang nomer 2 di sinode, yang dulunya adalah orang nomer 3, tetapi orang nomer 2-nya keluar dan bergabung ke sinode induk yang lama sehingga dia naik jadi orang nomer 2. Entah apa yang disampaikan sehingga si orang no. 2 langsung menelpon pengatur jadwal di kantor pusat, memerintahkan semua jadwal saya harus dibatalkan. Maka sore ini sekitar jam 4-5 sore ketika saya sedang bersiap-siap untuk pelayanan malam itu di hotel, hp saya berbunyi, saya ditelpon pengatur jadwal pusat yang mengatakan bahwa jadwal saya dibatalkan. Saya tanya jadwal yang mana, dia jawab semuanya. Keren banget. Tahun-tahun itu jadwal saya paling banyak di sana, dan semua dibatalkan. Efek dominonya gereja-gereja lain, persekutuan-persekutuan menyusul ikut membatalkan tanpa tahu jelas duduk persoalannya. Padahal masalahnya adalah 7 kali (saya ingat betul itu) gembala saya menawarkan saya untuk menjadi kepala kantor gereja, yang secara de facto akan menjadi wakil gembala—gereja kami tidak ada wakil gembala dan gembala saya akan dipindah untuk buka gereja di kota kelahirannya. Entah lewat teman dekat, full timer yang masih ada hubungan keluarga dengan saya, tetap saya tolak karena saya tahu panggilan saya adalah traveling ministry bukan jadi gembala. Jadi karena menolak jadi kepala kantor yang akan membawahi sekitar 40 full timer dengan banyak yang bergelar Sth., saya dicap punya roh pemberontakan. Kita perlu belajar tentang abusive leaders untuk mengerti lebih dalam tentang hal ini.
Kalaupun ada yang masih mau undang pelayanan, disuruh datang sendiri ke tempat pelayanan, mereka tidak lagi bersedia menjemput. Dan ujung-ujungnya sampai akhir tahun jadwal saya jadi kosong. Tetapi karena saya bukan artis yang terikat kontrak manggung, yang dibayar dari jumlah manggungnya, Tuhan tetap sanggup memelihara saya sampai sekarang di hari renungan ini ditulis. Bahkan di bulan pertama semua jadwal saya dibatalkan itu, persembahan yang saya terima mencapai rekor tertinggi selama pelayanan saya waktu itu, tanpa perlu pelayanan di mimbar. Paradok sekali, tanpa jadwal malah diberkati lebih—hamba harus bekerja untuk mendapat upah, tetapi anak tetap dapat pemeliharaan dan uang saku walau tanpa kerja. Ada saatnya dalam kondisi dan situasi tertentu, hak dan jaminan hidup kita sebagai anak tetap kita terima, tetapi sekalipun kita adalah anak, kita harus mengambil rupa hamba di hadapan Dia, sama seperti teladan yang Kristus berikan kepada kita (Filipi 2:7). Jangan jadi anak manja yang mau memperbudak Bapanya bagi kepentingannya sendiri.
Saya ditawarkan bekerja sama dengan satu grup rohani, yang kemudian bablas mengklaim diri sebagai orang–orang pilihan dari sekian puluh ribu hamba Tuhan di Indonesia. Tidak lama setelah melihat sendiri dan mendengar sendiri semuanya, saya keluar dan tidak lagi bergabung dengan mereka. Tetapi waktu saya keluar langsung tersebar isu bahwa saya dikeluarkan mereka. Luar biasa pembalikkan fakta ini. Juga disebarkan bahwa nubuatan saya tidak pernah terjadi, padahal di kota-kota yang kami pernah layani bersama, banyak yang saya dengar mengeluh bahwa nubuatan mereka tidak pernah terjadi, tetapi yang saya sampaikan justru tergenapi. Tetapi Tuhan sudah mengajar untuk DIAM, dan menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan lewat kasus pembatalan semua jadwal saya di tahun 2002 itu. Karena waktu itu gembala cabang yang dekat dengan saya—di mana sore itu saya ditelpon pengatur jadwal di pusat, saya mesti melayani di gerejanya, tetapi diganti orang lain—menghubungi ketua sinode menanyakan pembatalan jadwal saya, ternyata ketua tidak tahu menahu tentang perbuatan orang nomer 2-nya itu. Jadi saya diajak gembala cabang untuk menghadap ketua di rumahnya dan menjelaskan duduk persoalannya. Tetapi waktu saya berdoa. Roh Kudus katakan “DIAM.” Pelajaran yang berharga dan paling berat untuk menyerahkan semua ke tangan Tuhan. Menyerahkan utang, pergumulan, masalah, penyakit gampang, tetapi menyerahkan pembelaan kepada keadilan Tuhan itu sangat sukar. Saya ingat walau saya sudah dibaptis Roh Kudus, masih tetap rajin latihan bela diri. Untuk melatih kecepatan pukulan saya memakai dumbel 4kg, dan melatih kekuatan pukulan saya memakai dumbel 8kg. Untuk melatih tendangan saya memakai pemberat kaki 2kg-an. Angkatan squat saya bisa sampai 145 kg. Waktu push up, saya dorong setinggi-tinggi badan saya ke atas dan saya bisa tepuk tangan 3-4 kali. Tetapi suatu hari ketika lagi latihan Roh Kudus bertanya; “Apa yang kamu sedang lakukan?” Saya jawab; “Latihan, Tuhan”. “Latihan apa?” “Bela diri, Tuhan”, jawab saya enteng. “Bukankah Aku pembelamu?” Saya diam tidak menjawab, walau dalam hati saya mbatin “abis nunggu pembelaan Tuhan lammmmaaaaaaaa.” Ketika saya puasa selama 2 tahun saya ingat ada sesuatu yang terlepas dan keluar dari tubuh saya, sejak itu saya tidak menekuni bela diri lagi dan akibatnya berat badan dari 59-62kg maksimal menjadi 80-an kg.
Masih sangat panjang karena banyaknya pertentangan, penolakan, tuduhan, yang saya alami yang saya bisa tulis. Contoh: setelah pelayanan firman, saya berdoa untuk menanyakan pesan pribadi Tuhan buat yang hadir. Saya doa agak lama karena Roh Kudus sedang mengungkapkan tentang seorang om yang duduk di bangku depan. Om itu mengalami gangguan mata yang parah sehingga hampir buta. Dan Tuhan katakan om itu kecewa karena dia tidak bisa melayani lagi seperti dulu dengan kondisi mata seperti itu. Ketika saya buka mata saya langsung dituding dari bawah mimbar oleh wakil gembala dengan kata-kata; “Bapak jangan ajar meditasi di sini.” Saya jawab; “Saya mendengar Roh Kudus berbicara kepada saya tentang om yang duduk di depan sana”, sambil saya menunjuk ke om yang dimaksudkan. Kemudian saya katakan, “Om, Tuhan bilang om kecewa karena tidak bisa melayani seperti dulu lagi, betul?” Om itu ditepuk oleh istrinya dan dia mengangguk. Lanjut saya; “Bagaimana saya bisa tahu tentang om ini kalau saya tidak mendengarkan Roh Kudus bicara?”
Renungan ini akan jadi terlalu panjang kalau saya ceritakan lebih banyak lagi pengalaman dan penolakan waktu pelayanan. Tetapi bukan itu maksud tulisan ini dibuat. Tetapi untuk memberi pencerahan kepada orang-orang percaya yang sedang bingung akan arah dan pimpinan Tuhan, sedang terguncang konsepnya tentang Tuhan, sedang bergumul yang seakan tidak didengarkan dan tidak dipedulikan Tuhan, mulai tawar hati karena kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, mempertanyakan panggilan, pemeliharan dan kesetiaan Tuhan, dan meragukan pembelaan Tuhan dalam hidupnya. Ingatlah manusia tidak dapat memahami semua pekerjaan Tuhan dan jalan-jalan Tuhan dalam hidupnya.
Percaya kepada Tuhan tidak bisa dipisahkan dari mentaati perintahNya, tunduk pada pimpinanNya, rela menjalani prosesNya, tetap berjalan maju walau jalan itu gelap, terjal dan penuh batu-batu runcing. Untuk masuk ke dalanm Kerajaan Allah kita harus mengalami banyak sengsara (Kisah 14:22).
If the road is easy, you’re likely going the wrong way. (Terry Goodkind).