Ragu Malah Bertindak
Kalau kita perhatikan judul di atas seperti paradox, karena orang ragu biasanya akan membutuhkan banyak waktu dan pertimbangan sebelum mengambil suatu keputusan atau memutuskan untuk bertindak. Karena biasanya hanya orang yang sudah yakin akan kebenaran keputusan dan tindakan yang akan diambil yang akan segera bertindak. Tetapi tidak demikian dalam hal rohani. Seringkali ketika kita mulai meragukan Tuhan justru kita akan segera mengambil suatu tindakan yang entah dimotivasi oleh dorongan untuk survive atau dipikir sebagai jalan keluar sementara yang dianggap bisa menyelamatkan kita dari kondisi yang lebih parah.
Tetapi Daud berpikir dalam hatinya: “Bagaimanapun juga pada suatu hari aku akan binasa oleh tangan Saul. Jadi tidak ada yang lebih baik bagiku selain meluputkan diri dengan segera ke negeri orang Filistin; maka tidak ada harapan bagi Saul untuk mencari aku lagi di seluruh daerah Israel dan aku akan terluput dari tangannya.” — (1 Samuel 27:1)
Kita melihat di satu fase, Daudpun mulai meragukan janji Tuhan atas hidupnya. Sekalipun setelah berkali-kali usaha pembunuhan yang dilakukan Saul atas dirinya gagal, tetapi Saul masih hidup dan berkuasa, dan tetap bertekad untuk menghabisi dia. Bisa jadi Daud menjadi bosan dan lelah, sekalipun Tuhan tetap meluputkan dia. Tuhan terbukti setia dan tidak ada yang bisa membahayakan hidup Daud, tetapi masalah tetap tidak selesai. Hanya diluputkan setiap kali Saul berusaha membunuh dia.
Kalau kita baca ayat di atas, jelas ada dua hal yang menjadi alasan Daud untuk mengungsi ke negeri orang Filistin:
1. Ia mulai meragukan janji Tuhan yang disampaikan nabi Samuel.
Janji Tuhan adalah menjadikan dia raja, dan dia sudah menerima pengurapan itu. Sekalipun usaha Saul tetap gagal, tetapi masalah tetap di depan mata, karena Saul masih hidup dan tetap berkuasa sebagai raja Israel. Kesimpulan Daud adalah suatu saat Saul pasti akan berhasil membunuhnya. Kalau Saul berhasil membunuhnya, bukankah berarti Tuhan gagal menggenapi rencanaNya dalam dan lewat hidup Daud? Kita harus ingat bahwa iblispun tidak bisa menggagalkan rencana Tuhan, yang bisa membuat rencana dan janji itu batal hanya diri kita sendiri. Selama kita setia dan percaya, dan bersabar janji itu pasti akan tergenapi.
Berapa banyak orang percaya yang menerima janji Tuhan—baik lewat Firman tertulis maupun janji lisan lewat karunia nubuat—yang mengalami hal seperti ini: menerima janji Tuhan tetapi halangan demi halangan di depan mata, bukan satu dua halangan tetapi begitu banyak—dan rasanya mustahil kita bisa menang atas semuanya. Sekalipun kita sudah mengalami banyak mujizat—yang menunjukkan kesetiaan dan pembelaan Tuhan—tetapi semua itu hanya memberi keluputan sementara, bukan penyelesaian tuntas masalah kita. Hanya membuat kita sempat bisa menarik nafas lagi, tapi kemudian kembali masuk dalam tekanan dan himpitan yang sangat menyesakkan dada.
Daud sudah menerima urapan untuk menjadi raja, tetapi ada raja lain di depan matanya yang masih berkuasa dan mengerahkan segenap kekuatannya untuk menggagalkan janji itu. Ketika kita menerima janji pribadi Tuhan, itu disertai pengurapan yang akan meluputkan, melepaskan, memampukan, memimpin hidup kita untuk berhasil meraih kegenapan janji itu. Masalahnya pengurapan tidak membuat hidup ini menjadi lebih mudah, atau perjalanan menjadi lebih rata dan mulus. Tetapi Tuhan mengijinkan iblis dan manusia-manusia yang dipakainya mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menggagalkan rencana itu. Di lain pihak Tuhan justru mematangkan segala persiapan untuk orang yang diurapinya agar siap menerima promosiNya lewat segala macam halangan dan rintangan. Karena tanpa semua persiapan, urapan itu akan bersifat merusak orang yang diurapi.
Urapan raja atas Saul tidak membuat dia hidup memuliakan Tuhan, hidup dalam ketaatan kepada perintah Tuhan, justru semua dipakai untuk kepentingan pribadinya sendiri. Fokus hidupnya adalah sibuk menggagalkan rencana Tuhan atas hidup Daud.
Saya pernah mengalami kejadian seperti ini, ketika saya menolak untuk menjadi kepala kantor dengan jabatan de facto sebagai wakil gembala, gembala saya mendatangi gereja-gereja yang mengundang saya melayani dan mulai menyebarkan bermacam isu, antara lain: saya adalah pemberontak—jangan diundang, nanti jemaatmu akan diajarkan memberontak. Padahal waktu dia membujuk saya untuk bersedia menjadi kepala kantor gereja, dia katakan nanti mereka akan mempromosikan saya, tetapi begitu saya menolak, sekarang mereka bertindak sebaliknya, menghancurkan pelayanan saya dengan cara apapun.
Begitu saya keluar, saya dikutuk dengan kata-kata: “pelayananmu tidak mungkin berkembang.” Bahkan tidak puas dengan itu, dia menghasut mantan ketua sinode yang menjabat cuma sebentar karena ketika dijadikan ketua sinode dia terdiagnose kena kanker getah bening sehingga jabatan itu diambil kembali oleh sang pendiri. Dan anehnya ketika jabatan itu diambil kembali, dia malah sembuh. Orang ini kemudian memakai kuasanya tanpa sepengetahuan ketua sinode, menelpon pengatur jadwal pelayanan di pusat untuk membatalkan semua jadwal pelayanan saya. Dan di tahun 2002 semua jadwal saya sepanjang tahun itu dibatalkan, dan gereja-gereja sinode lain, persekutuan-persekutuan juga ikut membatalkan jadwal yang sudah ada tanpa pernah satupun bertanya kepada saya tentang kebenaran isu-isu yang disebarkan.
Bahkan ketika saya sedang pelayanan di negeri Belanda, Ps. Dave Ong di kota Zwolle cerita ke saya bahwa ada pendeta dari Indonesia telpon dia dan cerita macam-macam menjelek-jelekkan saya. Tapi dia katakan, “Saya kan kenal kamu, Asen!” Syukurlah ketika orang itu menelpon, itu bukan kali pertama saya pelayanan di Belanda, tapi sebelumnya saya sudah pernah melayani di Belanda, sehingga Om Ong tahu persis siapa saya. Bisa dibayangkan kalau itu pertama kali saya pelayanan di sana, maka agenda mereka pasti akan tercapai. Jaman itu belum ada aplikasi WA yang bisa telpon ke mana saja dengan lebih murah. Luar biasa si pendeta Indoinesia itu, rela buang uang telpon ke Belanda untuk menjelek-jelekkan orang. Tetapi Tuhan tidak pernah gagal, gitu aja koq repot.
Seribu pintu ditutup manusia, cukup satu pintu Dia buka, maka seribu pintu yang tertutup itu jadi sia-sia. Kalau Tuhan sampai kalah dari manusia-manusia yang dipakai si ular, renungan yang anda sedang baca ini tidak akan pernah ada. Dia melatih kesabaran kita dengan tidak langsung menyelesaikan masalah dan pergumulan kita. Dengan tetap percaya iman kita jadi terbentuk dan teruji. Dengan sabar mengikuti jalanNya, ketaatan kita akan bertambah. Pematangan rohani memang sulit karena buah akan matang bila bisa bertahan dari angin, hujan dan badai. Kalau rontok, ya, selesai kisahnya.
Jadi mulai ubah pikiran dan paradigma terhadap cara kerja Tuhan mengerjakan dan menggenapi rencana dan janjiNya atas kita. Begitu kita menerima janji atau nubuat pribadi, jangan langsung excited, karena itu awal peperangan panjang—bisa berpuluh-puluh tahun untuk mematangkan rohani kita agar dianggap siap dan layak menerima kegenapannya.
Pengungkapan rencana Tuhan kepada satu individu membawa orang itu dalam peperangan panjang yang dia harus menangkan.
Secara manusiawi dia tidak akan mungkin menang, tetapi ketika dia tahu dia tidak akan mungkin menang, dia menyerahkan semuanya kepada Tuhan dan bergantung kepada Tuhan, maka dia pasti menang. Sebaliknya ketika melihat dia tidak mungkin sanggup mengatasi semua, kemudian jadi kecewa, marah dan berontak kepada Tuhan maka dia akan mati di padang gurun tanpa pernah melihat, apalagi menikmati kegenapan janji itu. Tidak ada pilihan lain—karena kecewa dan menyerah akan membinasakan kita—harus terus maju walau babak belur dan luka parah lahir batin untuk meraih kemenangan.
Ingat prinsip easy come, easy go, apa yang kita peroleh dengan mudah biasanya akan kita kurang hargai, sebaliknya apa yang kita peroleh dengan susah payah akan kita pertahankan sekuat tenaga. Saul menjadi raja tanpa proses panjang, sehingga ketika menjadi raja tidak lama kemudian hidupnya mulai ngawur dan jauh dari kehendak Tuhan. Daud menjadi raja setelah belasan tahun proses panjang dan menyakitkan, sehingga seumur hidupnya ia belajar terus berkenan kepada Tuhan.
2. Karena mulai meragukan Tuhan, ia mulai memakai otaknya
Daud menganalisa situasi dan menyimpulkan bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk keluar dari masalah yang masih terus berlanjut ini. Ia memilih pergi ke negeri orang Filistin selama hampir satu setengah tahun.
Dan kita tahu bagaimana kehidupannya di sana—untuk mempertahankan kehidupannya dan keluarganya, ia menjadi perampok dan penjarah. Untuk menutupi perbuatannya dia harus berbohong terus menerus kepada Akhis bin Maokh, raja kota Gat. Untuk bertahan hidup dia harus memakai kekuatannya sendiri dan untuk menutupi perbuatannya dia harus berbohong. Luar biasa. Dan kita tahu akhir dari usaha manusiawinya untuk keluar dari masalah adalah keluarganya dijadikan tawanan dan dia hampir dirajam oleh para pengikutnya.
Ketika Daud serta orang-orangnya sampai ke Ziklag pada hari yang ke-tiga, orang Amalek telah menyerbu Tanah Negeb dan Ziklag; Ziklag telah dikalahkan oleh mereka dan dibakar habis. Perempuan-perempuan dan semua orang yang ada di sana, tua dan muda, telah ditawan mereka, dengan tidak membunuh seorangpun; mereka menggiring sekaliannya, kemudian meneruskan perjalanannya. Ketika Daud dan orang-orangnya sampai ke kota itu, tampaklah kota itu terbakar habis, dan isteri mereka serta anak mereka yang laki-laki dan perempuan telah ditawan. Lalu menangislah Daud dan rakyat yang bersama-sama dengan dia itu dengan nyaring, sampai mereka tidak kuat lagi menangis. Juga kedua isteri Daud ditawan, yakni Ahinoam, perempuan Yizreel, dan Abigail, bekas isteri Nabal, orang Karmel itu. Dan Daud sangat terjepit, karena rakyat mengatakan hendak melempari dia dengan batu. Seluruh rakyat itu telah pedih hati, masing-masing karena anaknya laki-laki dan perempuan. Tetapi Daud menguatkan kepercayaannya kepada TUHAN, Allahnya. — (1 Samuel 30:1-6)
Sekalipun Tuhan sudah menunjukkan kesetiaan, pembelaan, pemeliharaanNya kepada Daud, tetapi Tuhan tetap membiarkan Saul hidup dan terus membahayakan hidup Daud. Dia tidak langsung menyelesaikan sumber masalahnya, hanya meluputkan Daud setiap kali Saul akan membunuhnya.
Mungkin Tuhan tolong kita untuk melewati bulan demi bulan dengan cara yang ajaib, tetapi masalah keuangan kita tetap belum selesai. Mungkin kesehatan kita tidak makin memburuk sehingga harus dirawat di RS, tetapi keluhan penyakit kita belum disembuhkanNya. Bisa jadi dalam pergumulan kita telah terjadi banyak mujizat dan campur tangan ilahi, tetapi kita belum dikeluarkan secara tuntas dari pergumulan itu. Sehingga kita mulai meragukan Tuhan dan mulai memikirkan jalan keluar sendiri dan mengambil keputusan sendiri, yang justru berakibat lebih buruk dari sebelumnya.
Daud hampir dirajam para pengikutnya di saat dia kehilangan keluarganya. Masalah ganda yang begitu berat. Dia masuk ke masalah ini justru karena dia berpikiran lari ke negeri Filistin akan menyelesaikan masalah utama di hidupnya. Sekarang keluarganya ditawan dan dia dalam bahaya dirajam. Tetapi di saat itu dia memutuskan untuk kembali percaya kepada Tuhan—dan bukan hanya kembali percaya tetapi menguatkan kepercayaannya kepada Tuhan, yang sebelumnya sempat ia ragukan. Di titik paling rendah dia malah memilih untuk kembali percaya kepada Tuhan. Bukan menjadi makin pahit hati, menyalahkan Tuhan dan membenarkan diri sendiri. Bisa saja dia katakan dia harus lari dari Saul karena Tuhan tidak memukul Saul, tetapi tetap membiarkannya untuk lanjut mencari cara dan kesempatan untuk membunuhnya. Sedang dia punya anak istri dan pengikut yang harus dia pelihara dan bertanggung-jawab atas kesejahteraan mereka. Jadi keputusannya mencari jalan keluar secara manusiawi adalah wajar dan tidak salah. Dan Tuhanlah yang salah, tidak bertindak menuntaskan masalah hidupnya tetapi membiarkan masalah ini jadi berlanjut dan berlarut tanpa ujung.
Jadi sekalipun kita sadar kita salah jalan, tetapi kita tetap membenarkan diri dengan berbagai alasan dan cenderung menyalahkan Tuhan atas konsekuensi kesalahan yang kita buat. “Kalau Tuhan jawab, tidak akan saya seperti ini. Andai waktu itu Tuhan selesaikan, tentu saya tidak akan melakukan hal ini.” Ingat alasan seringkali lebih luas dari alas. Di saat sedang menuai akibat buruk dari pemikiran, keputusan dan perbuatannya sendiri, Daud berbalik untuk menguatkan percayanya kepada Tuhan. Betapa berbeda dengan banyak orang lain—sudah tahu dia terbatas dalam menghadapi pergumulannya, dan dia tidak akan menang dari tantangan yang menghadang, masih saja bersikap maju tak gentar, maju terus pantang mau dengar nasehat dan pengajaran Tuhan. Ketika semua mentok, ngamuk menyalahkan Tuhan. Beraninya ndak ketulungan.
Disuruh tinggal tenang dan percaya tidak bisa, dengan bermacam alasan—dibiarkan bertindak sendiri, kejeduk, ngamuk menyalahkan Tuhan. Orang-orang seperti ini sangat sulit diperbaiki kelakuan dan karakternya.
Daud di saat terburuk membuat keputusan yang terbaik, walau keputusan sebelumnya untuk keluar dari masalah yang buruk bukanlah solusi untuk memperbaiki keadaan, sebaliknya justru memperburuk segala sesuatu. Dia yang sebelumnya memakai pikirannya untuk pindah ke negeri orang Filistin, ketika dalam situasi sangat buruk kembali melibatkan Tuhan dalam tindakannya. Dia mulai kembali mencari pimpinan dan petunjuk Tuhan, bertanya kepada Tuhan. Di pasal selanjutnya kita tahu Saul akhirnya tersingkirkan, tetapi ketika Daud mendengar berita kematian Saul, dia tidak bersuka-cita tapi menyanyikan ratapan.
Kita bisa melihat proses pematangan Daud lewat proses demi proses yang dia harus lewati. Ketika orang yang membuat hidupnya menderita, mati—yang berarti penderitaan yang dibuatnya atas hidup Daud selesai—Daud tidak bersuka cita. Karena dia sudah berpikiran secara makro, luas, menyeluruh bukan hanya mikro kepentingan diri sendiri, kenyamanan diri sendiri saja. Kematian Saul adalah kekalahan orang Israel terhadap orang Filistin, inilah pemikiran makro holistik bukan pikiran mikro individualistik. Di 2 Samuel 2 kita tahu Daud selanjutnya terus bertanya kepada Tuhan akan apa yang harus ia lakukan.
Sampai hari renungan ini ditulis dan diupload, saya masih menemukan orang-orang yang ceroboh dan terlalu berani. Semua dikerjakan dan dilakukan tanpa melibatkan Tuhan, ketika semua mentok, gagal dan siap hancur lebur baru minta Tuhan tolong.
Kami mengadakan persekutuan di beberapa kota, baik persekutuan doa semalaman sampai pagi maupun persekutuan malam dari jam 19.00 sampai maksimal jam 22.00. Banyak yang selama delapan tahun tidak pernah mau hadir satu kalipun. Kalau hadir di doa semalaman bisa dimaklumi, tidak semua orang kuat melek begadang sampai jam 06.00 pagi. Tetapi kalau persekutuan yang jam 19.00 masa tidak pernah bisa hadir satu kali saja selama kurun waktu delapan tahun? Sesibuk apa dan sebesar apa usaha mereka sampai tidak bisa hadir satu kali saja. Anehnya ketika Covid-19 masih terus berlangsung, dan usaha mereka kena dampaknya, main telpon minta didoakan dan cari petunjuk Tuhan. Jenis ini yang saya tidak akan pernah akan jawab WA-nya ataupun angkat telponnya. Mind your own business.
Bahkan beberapa hari lalu ada aktivis di persekutuan kami yang WA memberi kabar bahwa ia baru dengar khotbah di YouTube yang mengingatkan untuk tidak egois, hanya memikirkan diri sendiri, karena sekarang banyak orang susah di sekitar kita yang kita perlu bantu. Lha, kan dari dulu sudah diberi tahu bahwa lewat Covid ini Tuhan mau melihat apakah kita bisa memikirkan orang lain dan mau mengulurkan tangan membantu orang atau tetap egois dan ego sentris hanya memikirkan diri sendiri. Sehingga jelas kita tidak percaya bahwa Tuhan akan cukupkan kita, bahkan berikan lebih ketika kita menjadi saluran berkat untuk orang lain. Kadang kesal, waktu diajar pikirannya kemana, telinga tidak dipasang malah ditinggalkan entah di mana.
Jangan membuat keputusan dengan pelbagai alasan yang buru-buru yang justru berujung kesalahan yang akan memperburuk situasi yang ingin kita perbaiki. Tunggu waktu Tuhan mengeluarkan kita dari liang tutupan, jangan mencoba keluar dengan kekuatan sendiri yang akan berakibat dan berakhir tragis. Kalau kita akhirnya menuai akibat dari kebebalan kita, maka bertobatlah dan minta ampun, bukan malah kepahitan, marah dan menyalahkan Tuhan. Buat keputusan yang benar di dalam kondisi terburuk sekalipun, pegang apa yang masih ada.
Karena Kitab Suci berkata:
“Barangsiapa yang percaya kepada Dia, tidak akan dipermalukan.” — (Roma 10:11)
Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang. — (Mazmur 37:5-6)
Kita seringkali berada dalam kebingungan yang dalam ketika dalam pergumulan—apa yang harus kita lakukan, dan kalau kita lakukan sesuatu apakah itu benar, kalau kita diam apakah tidak salah. Akan datang saatnya Tuhan akan memperlihatkan bahwa semua yang kita lakukan sesuai perintahNya adalah benar, dan semua yang menjadi hak kita di dalam Tuhan yang ditahan, dirampas, dirampok orang akan kembali menjadi hak milik kita. Kurir Tuhan tidak akan pernah salah alamat dalam mengantar paket dariNya, bendaharaNya tidak akan salah mentransfer kepada siapa yang Dia kehendaki.
Ingat, Iblis sekalipun tidak akan bisa menggagalkan janji Tuhan atas kita, hanya kitalah yang bisa membuat janji itu dibatalkan. Jadi hati-hati dalam melangkah. Jangan ada satupun yang gagal meraih janji Tuhan dihidupnya.
tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah. — (Yesaya 40:31)
Justru yang paling banyak terjadi adalah kebalikan dari apa yang ditulis di sini. Menantikan Tuhan malah jadi lemah, letih lesu, hilang semangat dan iman mengering. Karena kita bukan menantikan Tuhan tapi maksa Tuhan cepat-cepat tolong, bereskan, berikan, genapi janjiNya—seperti anak kecil yang sampai dower maksa orang tuanya berikan apa yang dia mau, ya jelas jadi lelah, pegel ati. Makan ati.
Kalau kita benar-benar mau menunggu kairos Tuhan, maka kita tidak akan buang energi sia-sia untuk terus memaksa Tuhan. Capek sendiri. Jadi tunggu dengan tenang dan percaya, Dia tidak pernah terlambat, walau terlalu sering lambat sekali menurut ukuran dan standar ketidak-sabaran kita. Gampang mengujinya—kalau ngakunya sudah menantikan Tuhan tapi letih lesu dan capek ati, jelas bukan menantikan tapi masih maksa-maksa Tuhan, jadi capek. Lari tidak lesu, pasti karena tidak salah arah, tapi sampai di tujuan. Bisa dibayangkan orang lari marathon sekian jauh ternyata salah arah, bukan ke garis finish tapi entah ke mana. Berjalan tidak menjadi lelah, walau sepertinya semua tidak berubah, atau berubah tapi lambat minta ampun.
Kalau sikap kita benar dalam menantikan Tuhan, kita tidak akan lelah.
Jadi dalam menanti ada usaha: berlari, cepat diajar, cepat berubah paradigma dan/atau mindset, cepat melakukan perubahan, bertobat. Walau ada banyak hal yang tidak bisa diraih dengan cepat/berlari, tetapi dengan berjalan: kedewasaan rohani, iman yang teruji, ketekunan yang terbukti—hal-hal yang tidak bisa didapat dengan satu-dua kali dengar khotbah.
Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. — (Yakobus 5:7)
Sudah, gitu aja, monggo direnungkan kemudian dipraktekkan.