Pengetahuan dan Pengalaman

Sejak minggu lalu saya digerakkan menulis renungan ini, tetapi laptop saya tiba-tiba white screen (putih layarnya). Setelah mencoba buka pasang LCD-nya sesuai petunjuk di YouTube, memeriksa socket LCD tidak juga berhasil, sepertinya pengetahuan saya dari kursus computer jaman processor 286 SX, DOS, pengolah data D-Base dan pengolah kata Wordstar sudah tidak berguna lagi dan harus dibawa ke teknisi. Sore itu sementara saya masih belum menyerah utak-utik laptop ini, ada aktivis doa malam yang menghubungi dan menanyakan sedang sibuk apa, saya katakan sedang utak-utik laptop yang white screen tapi belum berhasil. Eh, tidak lama kemudian dia WA saya bahwa sudah ada transfer untuk perbaikan laptop. Sampai malam saya berusaha tetapi tidak berhasil display tetap white screen. Akhirnya keesokan siangnya saya bawa ke teknisi ternyata LCD-nya rusak dan harus diganti. Sekalian saya minta diperiksa hard disknya dan ternyata performance sisa 28% sehingga akan rawan crash dan kehilangan semua data. Jadi sekalian hard disk diganti baru dengan yang lebih besar kapasitasnya. Setelah ganti hard disk masalah baru timbul karena install OS baru, WiFi tidak berfungsi. Dan di tempat servis tidak ada stok WiFi Card tipe yang sama. Jadi bisa ada masalah di driver atau WiFi Card.

Daripada kelamaan di tempat servis laptop, saya bawa pulang dan malamnya saya coba update drivernya dengan konek ke hp pake kabel usb, WiFi tetap tidak saja berfungsi. Coba lagi banyak petunjuk di YouTube, tetap nihil. Kesal juga sudah habis biaya lumayan belum normal juga laptop ini. Sayang kalau diganti baru karena speknya masih mumpuni layer 15.6″, Core i5 dengan RAM 8GB.Sampai malam tidak juga ada titik terang masalahnya di mana.
Keesokannya saya bawa laptop saya ke tempat teman yang juga teknisi laptop dan dia punya WiFi Card dengan tipe yang sama, tetapi setelah dipasang tidak berfungsi juga. Coba install OS baru tidak mau, install OS lama hasilnya juga sama. Dia bingung dan menelpon teknisi yang lebih senior dan temannya ini juga heran karena sekian tahun jadi teknisi baru hari itu ketemu tidak milih-milih WiFi Card. Sementara saya masih di rumah teman ini, ada satu anak Tuhan yang WA menanyakan apa bisa menelpon, saya katakan saya masih di tempat teknisi laptop, nanti balik rumah saya kabari. Sore itu laptop saya bawa pulang dengan wifi yang tetap tidak berfungsi.
Sehabis makan malam laptop kembali saya utak-utik, wifi card lama dan baru saya coba bergantian, wifi tetap mati. Dan anak Tuhan yang menelpon sore menelpon saya yang lagi pantang meyerah dengan laptop saya. Akhirnya saya putuskan daripada rambut jadi rontok dan botak karena mikir WiFi card, mending beli USB WiFi Adapter online saja.
Sehari kemudian siangnya saya menghadiri pemakaman dan kena hujan, jadi sorenya saya tidur karena kepala agak pusing. Ketika bangun istri saya bilang ada kurir antar paket dari anak Tuhan yang telpon saya kemarin malam. Saya unboxing, weleh, laptop seri terbaru spek Gaming, Core i7, dengan SSD. Yang luar biasa adalah layarnya 15.6″. Sejak lama saya dan istri selalu memakai laptop ukuran ini, karena lebih nyaman dipakai kerja. Tuhan luar biasa, andai yang dikirim 14″ maka itu pasti bukan untuk kami, karena kami tidak nyaman bekerja dengan laptop ukuran itu. Tapi jadi minggu-minggu untuk belajar lagi karena terbiasa dengan Windows 7, ini Windows 10 dengan Office 2019, butuh adaptasi lagi.

Kembali ke focus renungan kita, belakangan ini saya saya menerima telpon dari beberapa anak Tuhan dengan pergumulan dan masalah yang demikian berat dan menyakitkan. Bukan karena korona tetapi karena persaingan bisnis, kesalahan, ketamakan dan kejahatan orang lain. Sesaknya seakan dihimpit gunung. Saya kenal beberapa di antara mereka, suami-suami mereka bukanlah pria-pria yang doyan selingkuh atau penjahit keliman, mereka tergolong suami yang baik, bertanggung jawab kepada keluarga mereka. Para istri juga bukanlah para sosialita yang sombong suka pamer kemewahan dan tidak punya kepedulian sosial kepada sesama. Tetapi masalah yang sedang menerpa mereka begitu berat dan menyesakkan. Kalau mereka adalah para pendosa, pemberontak, tidak rajin ibadah, pelit tidak suka menabur, tidak memberi persembahan bisa dengan mudah kita “menemukan” penyebab mengapa hal-hal itu terjadi dalam hidup mereka. Tetapi kalau hal-hal normatif sebagai orang percaya sudah mereka lakukan tetapi pergumulan sangat berat justru menimpa mereka, perlu dicari lebih dalam lagi penyebabnya.

Selama ini persepsi kita kalau kita sudah ibadah dengan rajin, melakukan perintah-perintah normatif maka semua pasti akan berjalan dengan mulus, kita akan mengalami penggenapan janji-janji Tuhan diberkati, diangkat, ditinggikan, diperkaya, semua jalan diratakan dan diluruskan, semua keinginan, cita-cita, obsesi tercapai. Sehingga ketika kita membaca Alkitab yang kita ingat hanya hasil akhirnya, dan tidak ada bagian dari prosesnya yang masuk ke dalam hati sebagai sebuah pelajaran. Yang kita ingat dari kisah Abraham adalah bahwa dia diberkati dalam segala hal. Tidak pernah masuk dalam benak kita bahwa Abraham harus meninggalkan semua kenyamanan di Ur Kasdim untuk terus hidup berpindah-pindah dalam kemah. Pdt. Stephen Tong dalam salah satu khotbahnya pernah mengatakan bahwa rumah yang ditinggalkan Abraham memiliki 60 kamar. Bisa dibayangkan tidak nyamannya tinggal di kemah seumur hidupnya (Ibrani 11:9) dibandingkan tinggal di rumah dengan 60 kamar. Kita tidak mau mengerti tentang prinsip untuk mendapatkan sesuatu kita harus melepaskan/meninggalkan sesuatu juga. Meraih janji Tuhan butuh perjuangan.

Kita hafal kisah hidup Yusuf yang menjadi perdana menteri di Mesir, tetapi yang kita sering lewatkan adalah maksud pembentukan dan rencana Tuhan lewat hidup Yusuf.

Ketika Ia mendatangkan kelaparan ke atas negeri itu, dan menghancurkan seluruh persediaan makanan, diutus-Nyalah seorang mendahului mereka: Yusuf, yang dijual menjadi budak … sampai saat firman-Nya sudah genap, dan janji Tuhan membenarkannya. – (Mazmur 105:16-17, 19)

Janji Tuhan menjadikan kita alat Tuhan bagi rencanaNya, bukan malah memperalat Tuhan untuk tujuan kita sendiri. Ketika Tuhan mengungkapkan rencanaNya kepada Yusuf lewat mimpi, kita selalu artikan ini sebagai janji Tuhan untuk mengangkat Yusuf menjadi orang penting. Padahal ini adalah rencana Tuhan untuk memakai Yusuf di tengah kelaparan yang akan terjadi untuk menyelamatkan orang Timur Tengah kuno dari kematian karena kelaparan.

Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu. Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai. Maka Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagian besar dari padamu tertolong. – (Kejadian 45:5-7)

Rencana Tuhan hanya kita artikan sebagai janji Tuhan untuk mengangkat hidup kita, maka kita pasti akan terus menolak proses persiapan yang meliputi proses peremukan, pembentukan, pengujian dan pemakaian Tuhan—dengan hanya berfokus pada penggenapan rencana Tuhan dalam hidup kita. Pemakaian Tuhan mestilah melewati banyak tahap persiapan, agar siap dan layak mejadi alatnya. Besi saja harus dibakar berkali-kali, dipalu, dibentuk, dikikir, disepuh untuk menjadi pisau—apalagi untuk menjadi alatNya.

Janji Tuhan lewat Firman Tuhan ataupun lewat nubuatan pribadi indah dan baik, tetapi mengapa setelah itu semua yangterjadi justru bertolak belakang selama bertahun-tahun. KataNya aku akan diangkat, yang terjadi hidup semakin merosot dan semua aspek semakin memburuk. KataNya aku tidak akan kekurangan, lha ini faktanya untuk kebuTuhan sehari-hari saja sudah setengah mati. KataNya Dia tidak pernah terlambat, ini isi rumah sudah banyak dibawa ke pasar loak atau dijual lewat medsos. KataNya aku anakNya, sorga tanahnya dari emas dan tembok dari batu permata, lha, aku rumah masih ngontrak, tanah sejengkalpun belum punya. KataNya Dia datang agar anak-anakNya memiliki hidup dalam segala kelimpahan, ini pergumulan dan masalah yang berlimpah ruah datang tiada putusnya.

Daftar ini bisa kita isi sendiri dan akan jadi demikian panjangnya, gap (jeda/jarak) antara janji Tuhan dan realita yang kita hadapi. Firman yang dikatakan Tuhan sepertinya sangat layak dipertanyakan kebenarannya. Apakah setelah berfirman Dia berubah pikiran atau lupa sehingga yang terjadi justru semua yang berbeda dari yang Dia katakan? Atau Dia sengaja mempersulit semuanya supaya kita gagal sehingga Dia tidak perlu repot menggenapinya.

Saya pernah mengalami fase ini dalam proses persiapan pelayanan yang saya lalui. Di satu titik saya katakan: “Tuhan saya akan bakar Alkitab ini, karena saya tidak mengalami yang tertulis di dalamnya. Daud segera Tuhan tolong, Sadrakh, Mesakh, Abednego Tuhan tolong. Saya sudah puasa full 2 tahun, tiap hari doa tujuh jam dan sampai sekarang Tuhan tidak tolong. Alkitab ini bohong!” Rasanya memang setengah mati dari somebody menjadi nobody ketika taat. Jaman saya masih kerja di perhotelan saya bisa santai di long bar Raffles Hotel Singapore. Saya bisa makan minum di members only club karena yang mengajak saya manager cabang bank Amerika. Saya makan semeja dan ngobrol dengan Presiden bank terbesar ke-4 di Asia. Sekarang mau taat masuk rencana Tuhan malah jadi remuk tidak berbentuk. Jadi pengangguran, status jadi sampah di mata banyak orang, no reputation at all, merely a dead meat.

Saya ingat apa yang Roh Kudus jawab ketika saya mengatakan akan membakar Alkitab karena tidak mengalami pertolongan seperti yang dialami para tokoh di Alkitab. Dia katakan “Semua yang tertulis tidak akan kamu alami kalau engkau tidak percaya.” Lha, saya sudah percaya, tapi nunggu sampai ditolong itu lho lamanya minta ampun. Sementara keadaan terus semakin memburuk. Rasanya sudah tidak kuat lagi menghadapinya, kepala seperti mau pecah, mulut mau berteriak sekeras-kerasnya menyuarakan penderitaan, hati merintih berdarah-darah. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Beda dengan manusia jaman now kehilangan sinyal hp, battery low batt, kuota internet habis rasanya sudah setengah mati. Inilah proses dapur api yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang pernah mengalaminya. Kala itu Tuhan mengajar saya untuk tetap percaya walau semua yang di depan mata dan di sekeliling kita cuma kegelapan yang pekat tanpa titik terang. Tetap percaya.

diutus-Nyalah seorang mendahului mereka: Yusuf, yang dijual menjadi budak … sampai saat firman-Nya sudah genap, dan janji Tuhan membenarkannya. – (Mazmur 105:17,19)

Di dalam bahasa aslinya “sudah genap” berasal dari kata “bo” yang berarti berdiam, diterapkan, dibawa melewati, tanpa keraguan, diangkat, menyebabkan.
Jadi firman Tuhan akan membawa kita melewati banyak proses kehidupan, untuk kita dilatih menerapkan dan menjadi pelaku Firman, yang bila kita jalani tanpa meragukan kebenaran firman dan kesetiaanNya maka kita akan mengalami peninggian seperti yang Dia katakan.
Kata yang diterjemahkan membenarkannya berasal dari kata “tsaraph” yang berarti melebur, memurnikan, membersihkan logam dari dari unsur-unsur lain. Jadi ketika dia sudah dimurnikan maka Tuhan siap mengerjakan rencanaNya dengan meninggikan Yusuf. Dan lewat Yusuf, Tuhan menyelamatkan orang Timur Tengah kuno.

Tuhan tidak membutuhkan orang yang cerdas, jenius, punya kemampuan dan prestasi segudang, inter personal skill yang mempesona karena semua itu bisa Dia berikan. Dia hanya butuh orang yang mengerti apa yang dianggap sebagai janji adalah penugasan dan pemakaian Tuhan sebagai alat di tanganNya. Dan untuk bisa dipercaya mengemban tugas, orang itu harus dipersiapkan agar memenuhi kriteria yang ditetapkanNya. Penggenapan janji (baca: rencana) Tuhan bukan sekedar untuk kepentingan diri sendiri dan kepuasan hawa nafsu duniawi orang yang dijanjikan, tetapi sebagai alat Tuhan yang ambil bagian dalam rencanaNya. Jadi sekarang kalau ditanya masih berharap janji Tuhan tergenapi? Jawabannya pasti masih. Siap dibawa dalam proses peremukan, pemurnian dan pembentukan? Banyak yang bilang kalau berat mending jadi manusia yang biasa-biasa dah. Nah, ketahuan kan, motivasinya berharap janji Tuhan digenapi semata-mata tuk kepentingan dan keuntungan pribadi saja, bukan untuk menjadi alat di tangan Tuhan. Mengerti, rela, taat, tetap percaya sampai semuanya terjadi.

Lha, terus apa hubungannya dengan judul renungan pengetahuan dan pengalaman?

Sabar nak, maklumlah biasanya kalau cerita ke anak-anak, mereka akan kurang sabar menunggu akhir ceritanya.

Alkitab mengatakan bahwa kita ditetapkan untuk menjadi saksi-saksi Kristus. Ini tidak hanya dibatasi dalam lingkup yang kecil di dalam pertemuan ibadah, di persekutuan orang-orang percaya saja. Atau dalam arti yang lebih luas, kesaksian lewat mulut menceritakan Kristus kepada orang-orang yang belum percaya. Kita bisa dilatih untuk bisa bersaksi kepada orang yang belum percaya bisa lewat Evangelism Explosion atau sejenisnya. Tetapi proses yang kita alami akan menjadi pengalaman yang membuktikan kebenaran Firman Tuhan. Ini menjadi bekal yang melengkapi ketika kita menjadi saksi Kristus dan hambaNya. Apa yang kita sudah alami dan lewati akan menjadi latihan sekaligus bekal jawaban bagi orang-orang yang kelak Tuhan akan pertemukan dengan kita agar supaya kita menjadi saluran kasih, kuasa dan pertolonganNya. Pengetahuan menjadi teori dasar dan pengalaman padang gurun akan memperlengkapi kita untuk memberi jawaban yang tepat dengan kesaksian hidup kita sendiri. Orang akan lebih percaya dan diberkati ketika mereka tahu kita juga pernah mengalami apa yang mereka sedang hadapi saat ini. Saran, jawaban yang kita sampaikan bukan berupa teori normatif kosong tetapi pengalaman hidup yang nyata. Tetap percaya, tambah jam doa, jangan lupa tambah persembahan dan aneka taburan agar Tuhan lebih cepat menolong tidak akan keluar dari mulut orang-orang yang sudah diproses Tuhan. Ini seperti memberikan obat dan terapi berdasarkan diagnosa yang salah. Dan kita yang dipakai Tuhan akan lebih mudah mempunyai empati kepada mereka, karena kita pernah mengalami pergumulan dan penderitaan yang sama. Kata-kata kita akan berbeda bobot dan kuasanya karena kita menyampaikannya dengan pengalaman berjalan bersama Tuhan, bukan sekedar jawaban normatif yang diajarkan di bangku sekolah.

Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. – (2 Kor 1:3-4)

Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Yesuspun sebagai Imam Besar mengalami cobaaan-cobaan, sehingga Dia dapat merasakan kelemahan-kelemahan kita. – (Ibrani 4:15)

Bagaimana kita bisa turut merasakan kesesakan orang lain bila kita tidak pernah mengalami kesesakan? Kalau kita tidak bisa merasakannya bagaimana kita bisa menaruh empati?
Dalam pelayanan saya ketika bertemu dengan orang-orang yang membutuhkan penghiburan, kekuatan dan harapan baru, saya bisa menceritakan apa yang saya pernah alami yang intinya sama denga apa yang mereka sedang hadapi, dan saya tinggal ceritakan bagaimana pergumulan saya sampai Tuhan memberi saya kemenangan. Gitu aja, tidak pakai banyak teori dan dogma. Saksi adalah orang yang melihat dan mendengar sendiri, alias orang yang mengalami sendiri suatu peristiwa. Kita tidak ditetapkan untuk menjadi orang Farisi yang pintar mengajar tapi nol dalam praktek pribadi.

Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. – (Matius 23:4)

Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula orang bebas yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya. – (1 Korintus 7:22)

Kita dipanggil untuk menjadi hamba pada penugasan di bidang yang berbeda dengan tingkat kepercayaan yang berbeda pula. Jadi kalau kita sedang di dapur api, ingatlah karena ada rencana yang besar dari Tuhan untuk mempercayakan kita suatu tugas—entah lewat kedudukan, posisi, kekayaan. Dan setelah kita diangkatNya, tetaplah ingat di balik semua itu ada maksud dan tujuan Tuhan lewat promosi itu. Buang jauh-jauh pikiran bahwa promosi Tuhan hanya agar hidup kita jadi nyaman, jauh dari kekurangan, dan problema kehidupan. Tetaplah bertanya kepadaNya apa yang Dia kehendaki untuk kita kerjakan, terlepas bagaimanapun keadaan kita dan kondisi yang sedang kita hadapi.

Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai. – (1 Korintus 4:2)

Selama 31 tahun sejak panggilan hidup saya untuk masuk dalam pelayanan, saya hanya menemukan 1 orang yang bertanya untuk apa Tuhan mengangkat hidupnya demikian tinggi—meskipun saya sudah melayani di banyak negara. Semua yang lain merasa mengerti bahwa itu adalah janji dan tugas Tuhan mengangkat hidup mereka karena mereka adalah anakNya. Anak- anak yang harus kaya raya, sukses, berhasil, ternama karena mereka anakNya. Ini doktrin sesat yang sudah mendarah-daging di banyak orang, sehingga tidak bisa diubah lagi dengan ajaran sehat, karena merasa tidak ada yang keliru dengan doktrin ini. Sakit yang terlalu parah, obat apapun tidak berguna.

Kita percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi adakah kita menempatkan diri kita sebagai hamba dan alatNya atau justru merasa dan terus bisa memperalat Dia untuk mencapai semua yang kita inginkan? Apakah kita termasuk orang-orang yang bisa dipercayaNya untuk ambil bagian dalam rencanaNya? Dan ketika Dia mempercayakan kita sesuatu adalah kita ditemukan setia? Atau susah cari Tuhan, senang lupa Tuhan? Diproses bukan jadi rendah hati malah jadi rendah diri, diangkat jadi tinggi hati dan lupa diri?

Monggo masing-masing menjawab sendiri.