Negatif yang Positif

Kedua kata bersifat paradox, dan pada saat kita mendengar salah satu kata ini biasanya yang diasosiasikan di pikiran kita itu positif artinya baik, ya dan negatif artinya buruk, seperti pada positive thinking dan negative thinking. Kecuali kalau kita menyukai bidang elektronika: merakit sound system, amplifier, maka yang kita pikiran adalah jenis arus listrik. Dan khususnya di masa pandemi kita kita justru akan bersyukur kalau tes PCR kita negatif, dan langsung stress bisa hasilnya positif. Ternyata akhirnya yang negatif justru mendatangkan ketenangan, keluputan, sukacita.

Di saat pandemi corona belum ada tanda usai, bahkan terus muncul varian baru, semua bidang kehidupan merasakan akibatnya. Dampak langsung di bidang ekonomi yang paling terasa, banyak perusahaan yang melakukan perampingan dan efisiensi bahkan terpaksa berhenti beroperasi. Tidak sedikit orang-orang yang dulunya punya pekerjaan dan penghasilan tetap, sekarang harus kehilangan pekerjaan dan dengan susah payah berusaha memenuhi kebutuhan pokoknya. Rumah tangga yang dulunya hanya berisi riak-riak kecil pertengkaran, yang masih dalam taraf normal karena perbedaan persepsi, dan keegoisan masing-masing, sekarang dilanda badai topan dahsyat, baik karena hilangnya penghasilan maupun terlalu banyak waktu di rumah. Gesekan, perbedaan pendapat, pertengkaran menjadi semakin kerap terjadi. Padahal ketika pacaran waktu sehari penuh berduaan rasanya tidak pernah cukup. Selalu ingin berduaan dan ada rasa kangen yang menumpuk padahal baru beberapa jam tidak bertemu. Setelah menikah kalau kebanyakan waktu berkumpul bersama jadi momen berbahaya pemicu suasana panas, hati yang panas, perkataan yang panas dan pedas di dalam rumah tangga.

Ya itulah manusia, lain yang dibayangkan dan diimpikan, lain yang dilakukan dan beda realita yang terjadi. Lain yang dijanjikan, lain yang direalisasikan. Korban PHP lambe gudir lidah tak bertulang dari para petualang penebar janji yang choa chi (PHP). Tergeletak tak berdaya dengan luka batin parah, sulit disembuhkan walau ditutup plester aci. Tetapi tetap bisa menghibur diri dengan berkata; “Ah sudahlah, badai pasti berlalu.”—-walau badai baru siap menderu.

Persoalan hidup membuat orang menjadi lebih realistis terhadap rencana, obsesi dan impiannya. Berjuang lebih keras untuk mengatasi dan melewatinya, entah kemudian jadi terbiasa dengan masalah itu dan bisa menerimanya sebagai bagian dari kehidupan yang berjalan tidak selalu mulus dan bebas hambatan. Atau tetap stress dan merasa masalah yang dihadapi sebagai perusak kenyamanan hidup, kemudian kecewa, marah dan putus asa tanpa belajar apapun dari masalah yang ada. Sedikit yang lewat masalah malah menjadi tertempa dan terlatih untuk kemudian memiliki rohani yang bertumbuh dewasa, iman yang semakin kuat dan teruji, karakter yang terbentuk, pengenalan yang lebih tentang Tuhan, dan kekariban melekat kepada Tuhan.

Saat saya menulis renungan ini, teman sekantor waktu bekerja di biro perjalanan dengan outbound terbesar di jamannya di Indonesia menelpon saya, dia mengabarkan tentang satu teman kami yang sekarang dirumahkan tanpa gaji. Perusahaan hanya menanggung iuran BPJS-nya saja. Padahal terakhir saya dengar dia masih menerima 50% dari gajinya sebagai manager di satu hotel berbintang. Ada juga kabar tentang teman lain yang sekarang merintis usaha menjual roti dan kue karena bidang pariwisata terpukul paling keras sejak awal pandemi. Whatsoever the situation, life must go on.

Di saat pandemi terus berlangsung, hp saya banyak berdering dari nomer-nomer yang sudah puluhan tahun tidak pernah menghubungi saya. Untuk teman-teman biasa, atau pasien satu sesi (orang yang menghubungi satu kali kemudian selesai dan tidak pernah menelpon lagi) nomer mereka saya hapus setelah satu tahun. Untuk teman dekat dalam kurun dua tahun didelete dari phonebook. Yang tidak terhapus biasanya orang-orang yang pernah pelayanan bersama. Sebagai hamba Tuhan harus saya akui saya tidak banyak memiliki teman dekat. Sembilan puluh lima persen lebih adalah pasien yang menelpon ketika butuh saja, dan terus menelpon selama pergumulannya belum selesai, setelah itu menghilang entah ke mana setelah mendapat kelegaan. Kelak golongan ini akan menelpon kembali ketika menghadapi masalah baru, dengan kalimat yang senada; “Pak Asen, saya yang dulu nelpon Bapak, dan Tuhan sudah tolong saya setelah itu. Sekarang saya menghadapi masalah baru, tolong doakan saya.”

Tiba-tiba setelah dua tahun corona, banyak yang ingat dan mencari saya, bukan untuk menanyakan keadaan, tetapi dicari karena sedang dibutuhkan. Minta didoakan dan tanya apa pesan dan petunjuk Tuhan buat (keadaan buruk) mereka. Kalau tidak ada pergumulan berat tidak pernah diingat, bilang, “Halo, apa kabar?” lewat WA satu kalipun tidak pernah. Saya tidak memakai gaya bahasa hiperbolisme dalam hal ini. Seperti inilah kenyataannya. Sebagai hamba Tuhan saya merasa senasib dengan para mantan yang hanya diingat di kala susah. Ingin rasanya saya katakan kepada mereka, “Aku bukan mantanmu, hanya yang kau ingat di kala susah.” Mana ada orang yang ingat dengan mantannya ketika bahagia? Kalau sudah sengsara pasti diingat.

Hadeh koq jadi melankolis gini, Pak?

Ketika menonton tv, membaca berita tentang corona yang terus bermutasi dengan varian baru, di dalam hati saya bertanya apakah the worst has come, tetapi di dalam roh saya tidak memberikan kesaksian kalau kita sudah memasuki fase yang terburuk. Kiranya Tuhan berbelas kasihan kepada kita semua dan meluputkan kita dari petaka yang lebih buruk.

Varian baru masih muncul lengkap dengan masalah dan dampak baru di segala bidang. Dan kita tidak memiliki kemampuan untuk menghentikannya. Daripada pusing memikirkan kapan semuanya akan berakhir sehingga hidup bisa ditata kembali, lebih baik kita memikirkan apa yang kita bisa lakukan walau ada pandemi, hikmah, pelajaran apa yang bisa kita ambil lewat pandemi ini.

Di awal pandemi, banyak aktivis di persekutuan doa kami di beberapa kota yang menginginkan agar persekutuan tetap bisa dilakukan secara online lewat Zoom. Mereka menyarankan saya minimal mengupload khotbah di YouTube, sehingga mereka bisa tetap mendapat siraman rohani. Saya jawab saya tidak akan melakukan sesuatu yang tidak disuruh oleh Roh Kudus. Persekutuan doa kami namanya persekutuan pendewasaan rohani, bukan persekutuan pemanjaan rohani apalagi persekutuan penina-bobokan bayi–bayi tua. Justru di masa seperti ini mereka harus belajar membangun hubungan pribadi dengan Tuhan, tanpa saya pimpin. Belajar membaca Firman sendiri, mendapatkan arti dan maknanya dan tidak terus disuapi khotbah-khotbah tiada henti. Karena bagaimanapun indahnya suatu khotbah tidak akan bisa lepas 100% dari pengaruh pandangan, pendapat, pengalamaan rohani pribadi, motivasi, doktrin yang dianut si pembicara. Dan akan mencemarkan bila didasari motivasi-motivasi tersembunyi (1 Tesalonika 2:4-5).

Mengapa kita tidak lebih suka mendapatkan air jernih murni langsung dari sumbernya, tetapi mengambilnya dari sungai-sungai lain? (Yohanes 7:37-38). Beralihlah dari pohon yang hidup tergantung dari air hujan (dari ibadah raya, persekutuan doa, doa-doa pribadi, altar call, kebaktian kebanguan rohani, nubuat-nubuat pribadi, dan sejenisnya), menjadi pohon yang akarnya menjalar makin dalam sampai menemukan aliran air (membaca, merenungkan, menyelidiki firman sendiri dan membangun hubungan pribadi dengan Tuhan). Pohon seperti ini tidak akan terpengaruh ada tidaknya curah hujan karena akarnya sudah menemukan aliran air di dalam tanah (Kolose 2:7, Yeremia 31:34).

Sebaliknya pohon yang akarnya tidak dalam—hidup dari pertemuan ibadah ke pertemuan ibadah, tanpa pernah mengalami pertumbuahan rohani—ketika hujan daun akan langsung menghijau, tidak ada hujan, daun akan cepat layu dan rontok, bahkan pohonnya mati. Pertemuan ibadah online membuka kesempatan bagi orang percaya untuk mendapatkan tambahan gizi lain di YouTube dari para pengkhotbah lain. Jemaat yang selama ini dicekoki, dikendalikan dan dikuasai dan hanya mendengar satu pengajaran, sekarang bisa mendengarkan pengajaran-pengajaran lain. Yang akan lebih membuka cakrawala pengertian firman yang lebih luas dan dalam. Bukan hanya firman yang ditafsirkan, diajarkan secara sempit dalam koridor dogma dan doktrin satu denominasi saja dan oleh satu orang, satu keluarga atau satu golongan. Dengan begini tembok-tembok tebal yang terbangun karena perbedaan pengajaran dan doktrin bisa diruntuhkan. Tidak bisa dipungkiri kita begitu merasa berbeda dari orang percaya lain walau kita menyembah Yesus yang sama, karena perbedaan tata cara ibadah, doktrin, denominasi yang kita ikuti. Apalagi bagi para pemuja aliran, pembicara, pemimpin idola—mereka bukan pengikut Kristus. Tanpa disadari bukan hanya menjadi pengikut manusia tetapi sampai memuja manusia. Apa saja yang diajarkan, dikatakan, disampaikan dan diperintahkan idolanya ditelan dan diikuti mentah-mentah. Kita harus keluar dari mengkultuskan seseorang. Hanya Yesus yang layak didengarkan, ditaati dan dipercaya 100%. Kita perlu menghormati para pemimpin, tetapi menjadikannya setingkat Yesus dalam hidup kita tentu saja sudah tidak sehat.

Tembok-tembok pembatas kebebasan untuk mendapatkan pengajaran-pengajaran yang saling melengkapi, jernih, sehat, dan Alkitabiah sering dibangun para pemimpin baik secara sadar maupun tidak sadar. Secara sadar karena takut kehilangan pelayanan, pemasukan, jemaat, takut tidak bisa mengendalikan jemaat, sepenuhnya, takut jemaat jadi dewasa dan kritis, mulai bisa melihat kekurangan maupun keculasan pelayanan. Maupun secara tidak sadar karena hanya memikirkan kelangsungan hidup pelayan dan organisasi, sehingga takut jemaat pindah dan pelayanan ambyar yang akan berakibat periuk nasi pecah dan madesu.

Oleh kemurahan Allah kami telah menerima pelayanan ini. Karena itu kami tidak tawar hati. Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah. – (2 Korintus 4:1-2)

Pelayanan kita terima dari Tuhan, dan Tuhan yang mempekerjakan kita, dan kita bekerja bagi Tuhan. Karena itu kita harus memiliki sikap mental bahwa Tuhanlah yang mengupah kita, dan tugas kita mentaati Tuhan walau secara fakta kita menerima upah lewat perantaraan jemaat atau orang yang kita layani. Karena Tuhan yang memberi kita pelayanan, Tuhanlah yang mengurus posisi kita sebagai pelayan, tidak perlu rebutan, main injak, sikut sana sini untuk dapat maupun mempertahankan kedudukan. Belajarlah dari Saul dan Daud, sekuat apapun dan dengan muslihat apapun Saul tidak mampu mempertahankan jabatannya ketika Tuhan sudah menunjuk orang lain untuk menggantikannya. Dia tidak perlu mati kalau dia tidak mengeraskan hati mempertahankan jabatannya dengan segala macam kejahatannya. Tuhan mengakhiri jabatan dan kejahatannya dengan kematian. Sebaliknya dengan Daud, seberapa berkuasa orang yang menghalangi dia menjadi raja, Tuhan tetap sanggup melakukan dan menggenapi apa yang Ia rencanakan dalam hidup Daud. Jadi apa jenis Saul-saul yang sedang kita hadapi saat ini, percayalah Tuhan tetap setia pada janjiNya.

Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya. Kata-Nya kepada mereka: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. – (Lukas 10:1-2)

Ayat di atas dengan jelas mengatakan bahwa tuaian (pekerjaan, pelayanan) sedemikian banyaknya dan pekerja sangat sedikit. Sehingga pasti semua pekerja akan dapat beban/tugas pelayanan bahkan sampai overload karena rasio beban kerja dan jumlah pekerja yang tersedia yang sangat timpang. Tetapi kenapa bisa terjadi kekacauan, perebutan posisi, kedudukan, pelayanan dan jemaat serta penyalahgunaan wewenang dan ketidak-jelasan dana?

Dari ayat di atas kita bisa melihat penyebabnya:

1. Mereka tidak ditunjuk Tuhan tapi menunjuk/mengangkat diri sendiri untuk pelayanan. Sekalipun Tuhan mengangkat Saul menjadi raja, ketika Saul menyakiti hati Tuhan, dan Tuhan memilih orang lain, Saul tetap menghalangi dan terus berusaha membunuh Daud yang dipilih Tuhan untuk menggantikannya. Bisa dibayangkan tindakan dan perbuatan orang-orang yang menunjuk dan mengangkat diri sendiri dalam mempertahankan “tahta”-nya.Pasti lebih kreatif dan sadis dari Saul.

2. Mereka tidak diutus Tuhan, tapi mengaku utusan Tuhan, akibat pasti adalah pesan yang berbeda—tugas yang dilakukan bisa bersumber dari agenda, visi, misi pribadi, dikerjakan dengan cara lain,isi, dengan tujuan yang berbeda dari yang diperintahkan Tuhan (1 Korintus 3:11, 2 Korintus 11:13, 1 Tesalonika 2:3). Tentunya pengutusan dari Tuhan akan mengerjakan, menyampaikan apa yang dikehendaki Tuhan, yaitu membuat jemaat jadi dewasa, kudus dan berkenan kepada Tuhan. Bukan sebagai motivator yang mengalihkan fokus hidup dari mengarah ke Kerajaan, mengenal kehendak Tuhan, hidup dalam rencana Tuhan, melangkah dipimpin Roh Kudus—menjadi berfokus dan terobsesi penuh kepada mengejar dunia, walau itu dikejar melalui ibadah. Yang profan dikejar melalui kegiatan-kegiatan yang sakral.

3. Mereka diutus dengan tujuan untuk mempersiapkan visitasi/kedatangan Tuhan, pelayanan gereja akhir jaman adalah menyiapkan jemaat agar menjadi jemaat yang layak, kudus,dan berkenan kepada Tuhan sehingga siap menyambut kedatangan Tuhan baik secara personal (panggilan untuk pulang/kematian), maupun secara global (pengangkatan dan kedatangan Tuhan yang ke dua). Inilah tujuan akhir pelayanan, bukan sibuk membangun kerajaan bagi diri dan keluarga sendiri lewat pelayanan dengan sibuk hanya fokus kuantitas tanpa peduli kualitas yang hadir. Sehingga tradisi sesat yang sudah berakar sampai ke inti bumi—bahwa kakekmu dulu adalah jemaat kakek saya, kamu sekarang jemaat saya dan anak-anakmu akan jadi jemaat anak saya, cucumu akan jadi jemaat cucu saya—harus diakhiri, karena di Perjanjian Baru kita adalah imamat rajani (1 Petrus 2:9).

4. Fokus kepada tuaian jiwa dimotivasi oleh apa yang bisa dituai dari jiwa-jiwa itu terutama dari yang kaya dan berkedudukan. Tuhan katakan “tuaian”, tidak ada batasan pada strata sosial tertentu, tetapi jiwa-jiwa, entah miskin, melarat, berpendidikan, maupun kaum yang lebih beruntung secara ekonomi. Tetapi kalau yang direbut jiwa yang kaya atau miskin dari kandang domba sebelah?

Salah satu keluarga aktivis doa semalaman kami di salah satu kota pernah bercerita kepada saya tentang penjaga kandang di mana dia berkandang. Si penjaga kandang pernah berkata bahkan ada cukup banyak keluarga domba yang pindah ke kandang sebelah, tetapi dari data pemasukan keuangan tidak mengalami penurunan, jadi biarkan saja. Ini jelas mencerminkan fokusnya ke mana, silahkan domba-domba miskin, kurus, buta, telanjang, pindah ke kandang lain, itu bahkan lebih baik sehingga tidak repot mengurusi domba kurus sakit-sakitan, yang kemungkinan akan menurunkan pamor kandang mereka sebagai kandang kelompok domba kaldu, bukan kalangan domba tambun sembelihan. Banyaknya domba kaldu bisa membuat domba-domba elit tidak mau bergabung karena merasa tidak selevel. Dan bisa hanya fokus cari dan urus domba tambun yang bisa setiap saat diperas susunya, digunting bulunya dan dibikin kare dan sate dagingnya. Daripada cuma bisa dibikin kaldu karena hanya ada tulang belulang berbungkus kulit.

Jadi ada golongan jemaat susu full cream, wool, kare, sate dan golongan jemaat kaldu pak Asen?
Hushhhhh, jangan ngompori, saya tidak nulis seperti itu, coba baca ulang lagi.

5. Tidak melahirkan generasi pelayan yang baru. Karena pekerjaan sedemikian banyak dan pekerja sedikit mestinya ada program dan kesibukan luar biasa untuk mendidik, melatih para pekerja baru. Tetapi sayangnya ratusan, ribuan bahkan puluhan ribu orang hanya disuruh mendukung visi dan panggilan satu orang, dan seumur hidup hanya menjadi follower saja. Mereka tidak dibimbing untuk menemukan panggilan pribadi mereka di dalam Kristus, tidak diarahkan dan dilatih untuk mengerjakannya (1 Timotius 1:18). Mereka hanya menjadi pion bagi kepentingan sang raja kecil.

Belasan tahun lalu seorang gadis fresh graduate Fakultas Teknik Sipil konseling ke saya dalam kondisi stress. Karena dia diterima di sebuah perusahaan konstruksi di Singapura, tetapi penjaga kandang di mana dia jadi domba tidak mengijinkan dia mengambil pekerjaan itu. Kata si penjaga kandang kalau dia berangkat ke Singapura berarti dia meninggalkan Tuhan. Karena perkataan ini dia jadi tertekan dan takut berangkat. Saya tanya jurusannya apa dan cita-citanya apa. Sebagai lulusan Teknik Sipil ya cocok kerja di perusahaan konstruksi sesuai bidang keahliannya. Tapi dia ulang lagi kata-kata si penjaga kandang bahwa berangkat kerja ke Singapore berarti meninggalkan Tuhan. Saya tanya dia berarti Tuhan tidak ada di Singapura? Dia jawab ada. Lha koq bisa dihakimi sebagai orang yang meninggalkan Tuhan? Tanya punya tanya ternyata dia adalah pemain keyboard utama di gerejanya, sehingga si penjaga kandang yang selalu merasa sebagai pemilik kandang sekaligus pemilik domba tidak mau kehilangan pemain keyboard utamanya. Saya katakan kalau si penjaga kandang mau terus menahan dia, minta gaji sebesar gaji dia di Singapura, kalau tidak bisa beri gaji yang sama besar, ya, pergilah kerja.

Saya juga pernah mengalami hal yang sama, di kandang tempat saya dulu beribadah ada sekitar 40 fulltimer yang digaji, dan penjaga kandang meminta saya untuk menjadi kepala kantor yang akan mengurusi operasional pelayanan dan nota bene secara de facto menjadi wakil gembala, karena tidak wakil gembala. Dan gembala akan dipindahkan ke kota lain mengurusi kandang di sana. Karena tahu jelas dan pasti panggilan saya di traveling ministry, saya menolak. Saya ingat dengan pasti total tujuh kali saya diminta menerima tawaran ini, juga lewat keluarga saya yang jadi fulltimer di sana. Lama-lama saya jadi habis akal dan kesal karena merasa dipaksa, akhirnya saya sampaikan bahwa saya sebelumnya adalah General Manager hotel berbintang, dengan gaji sekian per bulan, kalau mau saya saya jadi kepala kantor saya minta gaji minimal sama. Langsung mingkem dan dengan marah dan mengatakan sebagai jemaat di sana saya harus tunduk kepada pemimpin di sana. Weleh, padahal saya mengajar di sekolah misi, mobil kijang saya selalu stand by di kandang untuk dipakai, bensin saya tanggung dan saya hanya diberi Rp.150.000 per bulan. Super amat murah karena saya yang subsidi—padahal kandang kami isinya banyak pengusaha kaya di kota itu. Ah, sudahlah. Kalau kami disuruh harus tulus dan berharap ke Tuhan dalam melayani, jangan ganggu persembahan yang masuk agar bagian mereka utuh tanpa cuil sedikitpun.

Be smart man, stop letting others squeeze you. Your sincerity is seen as a stupidity to be exploited for their own benefits.
(Yang cerdik dong, jangan biarkan dirimu diperas terus. Ketulusanmu dipandang sebagai kebodohan untuk dieksploitasi untuk kepentingan orang lain.—red)

Eksplotasi seperti ini banyak saya temui, bahkan terjadi pada putra sulung dari seorang aktivis doa semalaman kami. Seingat saya ketika saya berkunjung ke rumah mereka, Roh Kudus katakan anak lakinya “termakan pujian”. Ayahnya kemudian bercerita panjang tentang puteranya, yang dulu bekerja dengan gaji yang bagus di suatu perusahaan. Tetapi kemudian kandang tempat keluarga ini beribadah membuka sekolah, dan salah satu pemimpin menyampaikan “pesan Tuhan” kepadanya bahwa Tuhan memilih dia sebagai salah seorang pengajar di sekolah yang mereka dirikan. Karena bangga sebagai orang yang khusus dipilih Tuhan, dia meninggalkan pekerjaannya dan menjadi guru di sekolah itu dengan gaji yang sangat minim sebagai seorang sarjana. Keluarga pacarnya sudah beberapa kali menanyakan tentang rencana pernikahan mereka, karena sudah terlalu lama masa pacaran. Tetapi dengan gaji jauh di bawah UMR, hanya 50% dari Upah Mimimum kota itu, untuk makan sendiri saja tidak cukup apalagi untuk berkeluarga. Dia menjadi korban pujian dari nubuatan palsu. Setelah saya sampaikan kepadanya, akhirnya dia meninggalkan sekolah itu dan kembali bekerja dengan gaji 4-5 kali lipat di salah satu perusahaan, dan kemudian menikah.

Termakan pujian kemudian jadi “korban pujian” banyak saya temukan di kalangan pengusaha. Ada orang tertentu yang memakai modus ini untuk mendapatkan keuntungan tertentu dengan menyampaikan nubuat senada dengan perkataan, “Kami butuh ini,itu, untuk ini, itu dan Tuhan katakan, Tuhan memberi kesempatan kepadamu untuk menabur untuk ini, itu.”
Yang lebih ekstrem lagi pernah saya dengar; “Tuhan katakan Tuhan tidak mau menerima persembahan untuk… (macam-macamlah) dari orang lain, Dia hanya mau dari hartaMu, karena Tuhan mau memberkatimu secara khusus.” Orang itu akan diangkat ke awang-awang dengan perkataan seperti ini dan dengan senang akan merogoh koceknya sebanyak yang diinginkan si penyampai pesan. Yang lebih gila lagi bebebapa kali sayan temukan yang mengatakan; “Tuhan katakan kepadamu untuk memberikan kepada saya mobil merk xxx type xxx atau uang sejumlah xxx (sebelas digit), kalau engkau tidak bersegera melakukannya, dalam tahun ini juga Tuhan akan tiup semua usahamu!”
Nubuat tentang mobil saya dengar langsung dari pengusaha yang bareng saya ke Israel, dan nubuat kedua saya dengar langsung dari seorang importir dan dia memperlihatkan bukti SMS-nya ke saya. Dan ternyata pengusaha ini sudah kena sekitar 12 digit.

Ini 12 digit bukan digit nomer kartu perdana, kan, pak Asen?

Saya memang penulis tapi bukan pengarang cerita, dik!

Ruar biasa ya, modal pake kata “Tuhan bilang…” bisa bikin kaya raya.

Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. – (1 Yohanes 4:1)

Di awal panggilan saya juga mengalami kebingungan dan stress berat, ketika saya menyampaikan kepada penjaga kandang tempat saya beribadah bahwa saya dipanggil Tuhan untuk melayani. Dia katakan jangan macam-macam, lanjutkan saja usaha orang tuamu. Saya jadi sangat stress karena sebagai orang yang sangat saya hormati, saya berpikir dan berharap dia akan mendukung dan membimbing saya untuk masuk ke dalam panggilan saya karena di keluarga saya tidak ada satupun yang melayani Tuhan sebelum saya. Ternyata jawabannya seperti itu. Kalau Tuhan perintahkan seperti itu kenapa hambaNya bisa berkata lain? Puyeng, stress, ragu, bingung menimpa saya untuk waktu yang tidak sedikit. Benarkah suara yang saya dengar untuk meninggalkan karier dan masuk ke dalam pelayanan dari Tuhan? Kalau dari Tuhan kenapa hambaNya menyuruh saya melakukan hal yang berbeda? Seharusnya dari Tuhan ke hamba harus sama. Pengalaman awal ini membawa saya ke banyak pengalaman serupa kemudian bahwa sering apa yang dikatakan Tuhan berbeda dengan apa yang disampaikan hambaNya. Banyak insubordinasi.

Dalam pelayanan juga sangat banyak saya alami hal seperti ini. Ada undangan pelayananan di kandang besar, tetapi maunya khotbah hanya 15 menit dan sisanya berjam-jam diantri prayer line (antrian doa) untuk menyampaikan nubuat pribadi. Padahal kandang adalah rumah pengajaran, bukan rumah peramalan, apalagi perdukunan. Diundang tapi thema harus berkat. Padahal tugas imam mengajar umat akan hukum-hukum Tuhan, bukan menjanjikan kekayaan, kesuksesan, jalan pintas dan jaminan sukses asal banyak memberi persembahan. Seakan persembahan adalah sogokan untuk mendapatkan semua yang diinginkan. Demikian banyak pembatasan dan thema bukan yang ditaruh Tuhan di hati untuk disampaikan. Belum lagi sebelum naik mimbar diberikan pesan-pesan titipan untuk menyisipkan tentang kewajiban perpuluhan, aneka persembahan,hati-hati terhadap nabi palsu (maksudnya pembicara lain, kandang lain), harus tertanam di kandang (tidak boleh ke kandang lain karena bisa tidak balik lagi).

Bahkan ketika saya melayani di Jerman, ketika meminjam kandang gereja bule, sebelum ibadah dimulai, si bule penjaga kandang mengajak saya ke belakang untuk berbicara dengan saya. Yang saya paling ingat dia katakan kepada saya dalam bahasa inggris; “If we are invited to a church, as a visiting speaker we have to ask the local pastor what we can be of help to him.” Koq sama saja, pesan titipan ada di mana-mana. Ternyata bukan hanya di negara +62, tapi banyak pesan titipan di negara maju juga. Genaplah apa yang dikatakan Pengkhotbah bahwa tidak ada yang baru di bawah matahari. Dan ketika kami tidak menyinggung satupun pesan titipan ketika di mimbar bisa dipastikan itulah yang terakhir kita diundang. Prinsip saya “Nyak-nyak” di dalam bahasa daerah kami, yang artinya tidak masalah, emang gue pikiran, ora urus, yang penting diundang ke pesta kawin Anak Domba Allah. Buat apa ngundang pembicara kalau yang disuruh sampaikan pesan-pesan mereka sendiri, sampaikan sendiri saja, bung! Tidak perlu malu-malu atau pinjam mulut orang lain.

Saat ini karena covid banyak pembicara terpaksa menjadi PnS (Penganggur non Stop), sehingga untuk tetap eksis harus beralih ke YouTube, Zoom, dll. Bukan berarti yang pelayanan lewat YouTube semua seperti itu. Masih banyak yang karena terbeban untuk memelihara rohani domba-doma milik Tuhan. Tapi yang mengganggu adalah running text jangan lupa memberi persembahan ke nomer rekening tertera yang tidak putus-putusnya ditampilkan. Mengingatkan tidak perlu berkali-kali seperti ini—ini mengingatkan atau memaksa sih? Memangnya orang kena demensia (penyakit lupa) sehingga tiap beberapa menit diingatkan kembali.

Saya bersyukur memilih untuk mentaati Tuhan walau di awal akibatnya sangat tidak menyenangkan. Menolak undangan yang membatasi, mengatur thema harus tentang berkat, atau hanya mencari doa dan nubuat pribadi. Awalnya memang rasanya janggal dan sakit, setiap menyampaikan firman Tuhan otomatis menambah musuh karena menyampaikan pengajaran, teguran yang sangat tidak disukai orang. kKotbah yang dinilai terlalu negatif bahkan menghakimi, kata banyak orang. Saya pernah mengeluh kepada Tuhan mengapa saya yang disuruh sampaikan pesan seperti itu, sedang sejawat yang lain hanya khotbah janji berkat kekayaan, kesuksesan?

Dalam pelajaran Total Quality Management jelas bahwa proses tidak akan mengkhianati hasil. Berakit rakit bikin tambah sakit, tetapi hasil akan dinikmati orang yang menginjinkan Tuhan merakitnya walau tidak hasilnya tidak datang secara instant.

6. Menolak pekerja yang dikirim Tuhan. Kalau kita mendalami pelajaran tentang Lima Jawatan (Efesus 4:11) terutama jawatan nabi, kita tahu bahwa jawatan ini sering kali diterima di kandang-kandang dengan pembatasan hanya pada karunia nubuat, perkataan pengetahuan, perkataan hikmat yang diharapkan. Yang diharapkan adalah kesembuhan, kelepasan dan mujizat. Tetapi pesan yang dibawa nabi dari hati Tuhan yang berisi peringatan, teguran, penyingkapan doa, kenajisan, pengudusan umumnya ditolak dengan keras, dengan alasan Tuhan tidak seperti itu. Tuhan itu lemah lembut, nubuat hanya membangun, menasehati dan menghibur. Tidak ada teguran keras, penyingkapan dosa dan kenajisan. Tuhan tidak seperti itu–ini kalimat yang saya biasa dengar. Karena Tuhan lemah lembut bukan berarti Tuhan kompromi dengan penyesatan, dosa dan kenajisan. Lama-lama orang-orang seperti ini akan berharap Tuhan menghapuskan neraka karena Dia penuh kasih. Ini jelas sesat!

Jaman sekarang kita mendengar titik berat pemberitaan Firman pada kesejahteraan lahiriah, seakan Tuhan adalah Menteri Sosial merangkap Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan yang hanya mengurusi orang susah, miskin, melarat, tidak ada uang untuk hari esok, mengurusi sakit penyakit dan utang piutang dan keinginan kita untuk jadi kaya raya. Dan imam-imam tidak lebih dari motivator yang dengan gaya dan tekniknya mengajari kita untuk mengejar kesuksesan duniawi yang konon dijanjikan Tuhan. Kalau miskin dianggap dikutuk Tuhan. Firman pengajaran tentang kebenaran, kekudusan dan berjalan dalam ketaatan dalam pimpinan Roh menjadi langka.

Amos 8:11-12 dengan jelas menceritakan situasi jaman akhir, kelaparan dan kehausan akan mendengarkan Firman Tuhan. Akan ada generasi yang benar-benar haus dan lapar akan Firman Tuhan. Mereka muak dengan polesan, pencitraan, penyalah-gunaan Firman. Yang mereka ingin dengar adalah Firman Tuhan yang murni, bukan tebaran dan hamparan janji-janji tentang kemakmuran, kesuksesan yang membuat mereka sibuk mengejar dunia dan percaya setelah mati akan menemukan Tuhan. Tetapi mereka tidak menemukannya. Aneh kan?

Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. – (Ibrani 12:11)

Semua kita ingin hidup dalam pemeliharaan Tuhan sepenuhnya, menikmati penyediaan Tuhan, tetapi banyak dari kita menolak proses yang harus kita lalui untuk mencapainya. Yang kita ingat dari Nuh adalah dia selamat dari air bah, tapi kita lupa waktu yang dihabiskan Nuh untuk membuat bahtera. Dia harus keluar dari comfort zone sebagai seorang yang mengolah tanah untuk membuat bahtera. Dia harus belajar mengerjakan sesuatu yang baru bagi dirinya dan menyelesaikannya. Tidak ada alasan bilang tidak tahu, tidak bisa mengerjakannya. Kita tahu kisah Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang selamat dari dapur api, tetapi tidak terpikirkan oleh kita tekad bulat mereka menolak menyembah berhala. Kita hafal kisah Yusuf yang diangkat sebagai orang kedua setelah raja di Mesir, tetapi kita tidak merenungkan risiko yang diambilnya untuk tetap hidup kudus menolak rayuan istri Potifar. Bukankah dengan menerima rayuan itu, jadi win-win solution, istri Potifar mendapat yang diinginkan, dia akan mempromosikan Yusuf lebih lagi di hadapan suaminya? Ada jalan yang enak tanpa risiko, mengapa mengambil jalan yang tidak enak dan berisiko tinggi? Berapa banyak kita cenderung kompromi memilih jalan yang mudah tetapi tetap berharap rencana Tuhan tergenapi? Yusuf tidak memilih jalan hidup yang lain, ia tetap punya integritas, sehingga rencana yang Tuhan ungkapkan jadi dalam hidupnya. Masih merasa rugi dan menolak untuk mengikuti jalan dan proses Tuhan?

Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu. Taurat yang Kausampaikan adalah baik bagiku, lebih dari pada ribuan keping emas dan perak. Tangan-Mu telah menjadikan aku dan membentuk aku, berilah aku pengertian, supaya aku dapat belajar perintah-perintah-Mu. – (Mazmur 119:71-73)

Kata tertindas di ayat 71 berasal dari kata “annah” yang berarti dipandang sebelah mata, ditekan, direndahkan, dipaksa merendah, dihajar, dididik dengan keras, dipaksa, dilatih, dilucuti, disakiti, dilemahkan.

Orang-orang yang mengalami hal-hal yang dianggap negatif yang diterjemahkan dengan kata tertindas, adalah orang-orang yang sedang dididik, dibentuk dan dipersiapkan Tuhan agar kemudian menjadi orang yang mengerti ketetapan Tuhan. Paradox dengan orang-orang yang dalam ibadah hanya ingin mendengarkan janji-janji Tuhan dan ingin memiliki semua kenikmatan dunia. Jadi untuk merubah paradigma ini Tuhan memakai proses tindasan. Mungkin proses dilucuti dari semua kesuksesan, karier, harta yang pernah kita raih. Bisa juga dilucuti dari semua kebanggaan dan kesombongan sehingga yang tersisa dari somebody great (orang hebat) menjadi somebody that nobody knows or cares (orang tak dikenal/dipedulikan). Yusuf dilucuti dari jubah maha indahnya, dilucuti dari baju budak belian, dilucuti sebagai tangan kanan Potifar, kemudian jadi narapidana di penjara karena fitnah.

Kata yang diterjemahkan ketetapan-ketetapan berasal dari kata “choq” yang berarti penetapan waktu, tempat, tingkat usaha atau pemakaian, perintah, hukum, ketetapan tugas, bagian.

Contoh tentang belajar ketetapan Tuhan bisa kita ambil dari hidup Abraham. Kitab Kejadian pasal 12 dengan jelas menuliskan tentang Abraham yang dipanggil Tuhan, diperintahkan Tuhan meninggalkan sanak saudaranya dan berjalan ke negeri yang akan Tuhan tunjukan dan Tuhan akan memberinya keturunan. Tuhan memerintahkan dia harus meninggalkan sanak saudaranya untuk pergi ke suatu tempat/negeri lain. Dalam perjalanan dia mengalami banyak kesukaran dan ujian, ketika ia masuk ke Negeb yang merupakan ujung selatan tanah perjanjian malah ada kelaparan di sana, dan ia harus mengungsi ke Mesir. Tetapi ia kembali balik masuk ke Kanaan. Usahanya untuk terus berjalan mentaati Tuhan tanpa kapok dengan pengalaman di Negeb. Masakan mentaati Tuhan malah menemukan kelaparan? Dia tidak berhenti di lembah Yordan yang subur dan banyak air yang sangat cocok untuk domba-dombanya, tetapi ia maju terus sampai Tuhan menyatakan itulah tanah yang Ia janjikan kepadanya. Setelah sampai di Kanaan pun dia harus menunggu sampai 10 tahun untuk Tuhan menggenapi janjiNya memberikan keturunan kepadanya. Karena segala usahanya untuk tetap taat dan setia Tuhan kemudian dengan spesifik menyebutkan bahwa tahun depan Sara akan melahirkan seorang anak.

Abraham sampai pada titik di mana Tuhan mengungkapkan waktu yang dia tetapkan untuk menggenapi janjiNya yang Ia sampaikan kepada Abraham 24 tahun sebelumnya. Jadi janji Tuhan adalah paket komplit berisi perintah Tuhan, ujian-ujian yang harus dilewati, pengalaman buruk waktu taat, ukuran usaha untuk taat, penetapan bagian yang akan Tuhan berikan kepada kita, waktu menunggu sampai penetapan waktu dan penggenapan janji-janji itu.

Ingat ada om pakai blangkon yang sering muncul di iklan bilang; “jangan ngimpi.” Mau melihat kemuliaan Tuhan tanpa memiliki kualitas yang teruji akan jadi mimpi tanpa kenyataan. Tetapi untuk melihat kegenapan rencana Tuhan, kita harus melewati perjalanan dan pengalaman dengan Tuhan.

Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah! – (Wahyu 3:19)

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. – (Yeremia 29:11)

Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat! – (Yesaya 55:6)

Jangan hanya melihat semua yang kelihatannya negatif adalah pasti negatif semua. Ingatlah yang negatif itu bisa jadi positif bagi pertumbuhan rohani kita.