Jenuh, boring, dull, monotonous, whatsoever you name it

Siang kemarin ada teman yang menelpon saya, cerita tekanan dan kejenuhannya di tempat kerja. Pindah-pindah tetapi masalah yang dihadapi sama saja. Masih saja sangat banyak berinteraksi dengan orang-orang yang menjengkelkan, lingkungan kerja yang tidak menyenangkan dan company culture yang ujung-ujungnya sama saja. Dia sangat tertekan, jenuh dan ingin segera keluar dari lingkungan itu. Tetapi tanggung jawab kepada keluarga dan anak-anak yang masih memerlukan biaya dan belum selesai study membuatnya bertahan di sana.

Tekanan bisa berasal dari tuntutan tugas dan tanggung jawab yang diemban, bisa dari suasana di lingkungan kerja yang tidak menyenangkan, interaksi dan hubungan antar teman kerja, sikap atasan, dan banyak hal lain. Kejenuhan terjadi karena rutinitas, tidak adanya perubahan, kemajuan, peningkatan dan perbaikan dalam waktu yang dianggap sudah cukup lama. Gabungan antara stress dan kejenuhan menimbulkan tekanan yang sangat berat bagi banyak orang. Dan stress yang berlangsung lama bisa membuat orang mengalami break down. Sementara kejenuhan membuat orang jadi apatis, hilang gairah dan semangat, hidup dengan letih lesu dan tanpa pengharapan yang kuat. Ini bukan sikap nrimo dan bersyukur, tetapi sikap menyerah dan meninggalkan gelanggang pergumulan.

Sebelum pandemi mungkin banyak yang merasa tidak punya cukup banyak quality time untuk keluarga, tidak cukup waktu untuk istirahat, setiap hari kerja dan kerja. Tetapi ketika pandemi terus berlangsung, orang menjadi jenuh dan stress karena kebanyakan di rumah. Situasinya persis sama—di musim kemarau mengeluh kepanasan merindukan hujan, di musim hujan mengeluhkan cuaca buruk menginginkan hari yang cerah. Dari banyak berita di media massa, kita baca pertengkaran bahkan perceraian meningkat karena di rumah saja. Harapan untuk punya quality time dengan keluarga justru berubah menjadi wartime. Jadi maunya apa sih?

Saya ingatkan kepada teman itu, dia kan belum lama di tempat yang sekarang. Dia jawab lebih dari waktu yang saya sebut, lengkap bulan dan tahun mulai masuk ke tempat baru dan sampai hari kemarin sudah sekian tahun sekian bulan. Lengkap dan detail, luar biasa. Saya tidak mengerti tentang neurology, otak kanan-otak kiri. Yang saya sering dengar paling tentang tidak punya otak dan tidak pakai otak. Kemampuan mengingat dalam memori kita sangat aneh dan ajaib. Contoh kalau kita menghutangi orang kita akan sangat sulit lupa, sebaliknya kalau kita berhutang kita akan cepat lupa, minimal pura-pura lupa. Ketika kita disakiti dengan kata-kata tajam yang menusuk, sering kata-kata itu seperti terekam di hard disk, tak lekang oleh waktu, sampai berpuluh tahun tetap terngiang-ngiang di telinga kita tanpa ada satu katapun yang terhilang. Lengkap dengan intonasi dan film lengkap kejadiannya dan rasa sakitnya tidak pernah berkurang, masih persis sama seperti waktu kejadian itu. Tetapi ketika kita menyakiti orang, tidak butuh lama kita akan segera lupa dan tidak pernah memikirkannya lagi.

Kalau saya renungkan, sepertinya memori tidak hanya tersimpan di sel-sel syaraf di otak, tetapi juga ada memori dengan kriteria khusus yang tersimpan di memori hati. Yang di otak bisa terhapus oleh waktu, tetapi yang di hati tidak bisa dihapus kecuali dengan perubahan akal budi, paradigma dan roh. Saya ingat seorang ibu yang saya layani setelah ibadah, dia menderita beberapa macam penyakit. Ketika kami berdoa, Roh Kudus berikan saya kata “42 tahun.” Saya tanyakan apa arti 42 tahun bagi dia. Dia langsung cerita lengkap bahwa 42 tahun yang lalu dia sudah tunangan dan siap menikah. Tetapi kemudian dia jatuh sakit selama 1 tahun. Si tunangan tidak sabar menunggu kemudian menikah dengan orang lain. Walau dia juga kemudian menikah dengan suami yang sabar dan baik, tetapi dia tidak bisa melupakan si mantan dan tidak bisa mencintai sang suami sepenuhnya. Cintanya masih nyantol di mantan, belum dilepaskan untuk diserahkan ke sang suami. Ini jenis memori yang disimpan di sel-sel hati, tak lekang oleh waktu. Walau dia sendiri mengakui suaminya sabar dan baik, tetapi dia tetap tidak bisa mencintainya. Lha tidak cinta koq mau dinikahi? Angel, wes, angel. Ini jenis nenek romantis, masih ingat terus kenangan masa lalu bersama sang mantan. Dari pelayanan saya selama ini, nenek inilah yang memegang rekor terlama menyimpan memori cinta masa lalu. Ada yang belasan tahun ada yang dua puluhan tahun, yang ini 42 tahun. Ruaaaaaaarrrrrr biasa.

Saya ingat ketika saya masih kuliah dan kerja di Bali, dalam salah satu khotbah bapak gembala, Om Firmanyo Osiyo, di gereja kami, GPT Baithani di jalan Teuku Umar, Denpasar, menyampaikan tidak boleh pacaran kalau tidak bermaksud menikah. Berminggu-minggu dalam hati saya ngomel terus ketika mendengar kalimat itu. Kolot dan kuno, ah.

Mosok pacaran harus menikah? Kan pacaran itu cuma penjajakan, kalau cocok lanjut, tidak cocok ya bubar. Bagaimana kalau tidak cocok tetapi harus terus lanjut ke pelaminan? Itu neraka dunia, Om!! Mana bisa pacaran sekali langsung menikah, kan kita mesti cari-cari dulu yang sesuai tipe ideal kita, cocok dan nyambung dengan kita. Nikah kan cuma sekali jadi harus benar-benar cari yang cocok supaya tidak jadi neraka KW1 di dunia. Jadi daripada nikah kemudian cerai, lebih baik pacaran berkali-kali sampai menemukan yang cocok dengan kita. Itu yang saya praktekkan sampai Tuhan perlu mendisiplin saya dengan keras. Butuh waktu yang sangat lama buat saya agar bisa menerima pengajaran ini. Dari banyak pelayanan di kemudian hari saya banyak menemukan masalah rumah tangga pasangan orang percaya yang berakar dari banyak tebar cinta di masa muda. Saya akhirnya mengakui apa yang disampaikannya benar, pacaran bukan untuk coba-coba, penjajakan, cari-cari yang sesuai tipe ideal, cocok dan nyambung dengan kita. Itu hanya akan mengotori dan menajiskan hati, tubuh dan roh kita, melukai dan dilukai. Ikatan yang sudah pernah tercipta lewat perkataan, janji, rayuan, akan jadi spirit binding yang akan merusak dan menggerogoti rumah tangga di kemudian hari. Makanya di dunia ada istilah old flame, ciu cin ren, true love of a life time, first love never dies, yang membuat kita terlanjur menumpahkan semua cinta kepada seseorang yang belum dan bukan pasangan hidup kita. Karena semua sudah ditumpah habis maka yang tersisa hanya embernya, yang bukan mustahil justru pasangan hidup kita yang akan kena lemparannya. LOL. Maka lagu kebangsaan hidupnya pasti dari grup Nazareth, berjudul Love Hurts.

Ada memori atas kejadian-kejadian yang begitu berbekas di hati tiap orang—entah tentang kejadian yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Kalau itu saat-saat yang menyenangkan kita merindukan itu terjadi kembali, kalau kejadian yang menimbulkan trauma mendalam, kita berusaha untuk menjauh dan menghindari agar itu tidak terjadi kembali. Intinya kita mencari dan merindukan yang menyenangkan, menjauh dan menghindari semua yang tidak meyenangkan.

Kembali ke inti bahasan kita tentang kejenuhan. Sebagai orang percaya yang berharap dan menantikan rencana dan janji Tuhan digenapi dalam hidup kita, kita tahu bahwa ujian terbesar dan terberat dalam hidup kita bukanlah ujian iman. Kita sangat percaya Tuhan sanggup melakukan segala perkara dengan kuasaNya. Kalau Dia mau, Dia bisa lakukan apapun. Tetapi iman saja sering membawa kita kedalam kemarahan, kekecewaan, pemberontakan. Dia bisa selesaikan masalah kita, tetapi banyak pergumulan yang Dia belum jawab. Dia bisa tolong kita, tetapi kita sudah menunggu sangat lama, dan pertolongan belum datang. Dia mampu berikan semua yang kita butuhkan dan inginkan, tapi banyak kebutuhan dan keinginan yang belum Dia berikan kepada kita. Dia bisa buat hidup kita jadi nyaman dan menyenangkan, tetapi Dia lebih suka mendidik kita daripada memanjakan kita dengan hidup enak.

agar kamu jangan menjadi lamban, tetapi menjadi penurut-penurut mereka yang oleh iman dan kesabaran mendapat bagian dalam apa yang dijanjikan Allah. Sebab ketika Allah memberikan janji-Nya kepada Abraham, Ia bersumpah demi diri-Nya sendiri, karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari pada-Nya, kata-Nya: “Sesungguhnya Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan akan membuat engkau sangat banyak.” Abraham menanti dengan sabar dan dengan demikian ia memperoleh apa yang dijanjikan kepadanya. – (Ibrani 6:12–15)

Menerima janji Tuhan dengan sukacita dan percaya itu akan digenapi barulah langkah awal dari perjalanan panjang iman. Bersemangat dalam beribadah, lebih menghargakan firman Tuhan itu langkah selanjutnya. Tetapi masih banyak langkah lain yang harus diambil dan banyak jurang dan lembah yang harus dilalui. Ujian kesabaranlah yang akan menjadi ujian terakhirnya, setelah ujian-ujian lain.

Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu. – (Ibrani 11:9)

Kita melihat Abraham sudah meninggalkan Ur Kasdim seperti yang diperintahkan Tuhan dan masuk ke Kanaan seperti yang direncanakan Tuhan, sudah lulus ujian dalam mengorbankan Ishak. Tetapi hidup tetap seperti sedia kala. Life as usual. Dia masih tinggal di kemah, bukan rumah bak istana mewah. Pdt. Stephen Tong dalam kotbahnya pernah mengatakan rumah yang ditinggalkan Abraham di Ur Kasdim memiliki 100 kamar. Jelas ini rumah bak istana raja. Sedang di Kanaan Abraham tinggal di kemah. Kontras luar biasa. Fakta ini tidak akan pernah diajarkan oleh pengajar teologi kemakmuran kepada jemaatnya. Hanya cerita Abraham dibuat jadi kaya dan semakin kaya.

Tetapi Daud selalu pulang dari pada Saul untuk menggembalakan domba ayahnya di Betlehem. – (1 Samuel 17:15)

Walau Daud sudah diurapi untuk menjadi raja, dan sekarang sudah dekat dengan raja Saul, sebagai pembawa senjatanya, tidak berarti janji Tuhan bagi hidupnya tinggal satu langkah lagi tergenapi. Dia masih tetap harus kembali menggembalakan kambing domba seperti sebelum dia diurapi Samuel. Kembali life as usual.

Betapa banyak orang percaya yang baca Alkitab tetapi inginnya semua yang tidak Alkitabiah. Inginnya promosi, terobosan, percepatan, semua yang berbau instant. Orang-orang seperti itu merasa memiliki iman yang luar biasa yang sanggup memindahkan gunung—yang pada kenyataannya menguliti kesombongan dan kebenaran diri sendiri saja tidak sanggup. Membersihkan hatinya yang membatu saja tidak bisa, koq mengkhayal memindahkan gunung. Mereka terlatih mencomot ayat-ayat seenaknya dan mengartikannya semaunya sendiri dan main klaim dan deklarasi sesuai dorongan obsesi dan ambisinya sendiri. Mereka bukan alat Tuhan tapi manipulator ulung untuk memperalat Tuhan.

Ketika teman itu menyebutkan dengan detail bulan dan tahun dia mulai masuk di tempat yang baru dan total sekian tahun lebih sekian bulan kepada saya, saya ingatkan bahwa saya dipanggil Tuhan sejak awal 1990, sudah total 30 tahun lebih, rencana dan janji Tuhan yang Dia nyatakan di hidup saya belum tergenapi. Kalau mau banding, lama mana, jenuh mana? Jadi mulai dari kata muntab, tuwuk, blenger, eneq, sudah pernah saya alami semua selama 30 tahun ini. Karakter dasar saya type A, kolerik, dominan dan task oriented. Type A adalah orang yang tidak bisa menunda, merasa dikejar waktu, semua harus segera dan sekarang, saat ini. Bayangkan, sudah menunggu 30 tahun lebih. Orang kolerik memiliki drive yang kuat dan cenderung memiliki roh kontrol yang kuat. Dipaksa menuruti kehendak dan perintah Tuhan. Sejajar dengan sifat dominan yang kuat.

Task oriented lebih menyenangi dan mengutamakan mengerjakan tugas dari pada membangun hubungan. Karakter yang tidak bisa menunggu, tidak bisa diatur, tidak suka dibawah perintah, tidak menyukai membangun relasi. Resep lengkap semua kekurangan untuk menjadi gagal dalam mentaati dan melakukan kehendak Tuhan. Tetapi pengalaman dan proses padang gurun bisa mengubah semua kekurangan itu dengan hikmat Tuhan menjadi kelebihan yang berguna.

Berkali-kali saya mencoba lari dari panasnya proses padang gurun, dan berkali-kali usaha saya hanya membuat saya mengalami pengalaman dapur api. Semua menjadi lebih hancur, remuk dan makin menyusahkan. Ingat, di padang gurun bahaya kematian selalu mengancam bila tidak mengikuti gerak tiang awan dan tiang api. Manna hanya turun di perkemahan, jauh dari perkemahan tidak ada manna. Bahaya kekurangan air, tidak akan ada gunung batu yang dibelah bila jalan sendiri. Dan banyak ular beracun yang berkeliaran. Jadi cukup sudah pengalaman itu, tidak perlu ditambah lagi. Pepatah mengatakan hanya kerbau dungu yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.

Kita percaya janji Tuhan, berharap itu digenapi, sudah banyak menderita karena Tuhan, sudah berserah sepenuh kepada Tuhan. Tetapi hidup ini tetap saja monoton, perubahan sedikit saja tidak ada. Apa lagi yang kurang? Sering pertanyaan dan kekesalan seperti itu muncul di pikiran kita. Dalam perjalanan di padang gurun dari Mesir ke Kanaan tidak ada Iblis yang mencobai mereka. Mereka hanya harus melawan “manusia lama” yang ada di dalam diri mereka sendiri. Motivasi keluar Mesir yang salah (hanya mencari kehidupan nyaman lepas dari kerja paksa Mesir), tujuan hidup jangka pendek (hanya memikirkan kenikmatan sesaat, tiap ada kesukaran ngamuk dan berontak dan ingin balik), tidak tahan uji, selalu berontak, iman yang tidak pernah tumbuh, hati yang tetap degil, tidak ada kerinduan masuk Kanaan, menciptakan allah sendiri yang akan memimpin mereka balik ke Mesir (allah yang akan mengikuti kemauan hati mereka), tidak mau direndahkan dalam proses. Dan mereka semua mati mengenaskan di padang gurun. Tidak ada pihan lain, harus terus maju, ngeluh dihukum, apalagi mau balik kucing.

Kiranya kita diberi iman yang taat, pengenalan yang benar, hati dan roh yang baru agar jadi ciptaan yang baru, dan rela hati menjalani proses yang harus kita lewati.

Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN! – (Mazmur 27:14)