Jawab Dululah Minimal Satu Saja
Di pagi dua hari lalu saya buka FB ada video bagus di kanal Positif+ tentang Jim Wolf, veteran perang yang jatuh dalam kebiasaan buruk dan hidup di jalanan. Ada organisasi yang kemudian menolongnya untuk keluar dari hidup di jalanan dan memberinya kesempatan kedua. Dari pakaian kumuh, jorok, kotor, mereka mencukur rambutnya dan memberinya pakaian baru, sehingga dia sendiri kaget ketika melihat transformasi dirinya di depan cermin. Mereka mengikutkannya ke dalam program rehabilitasi dan mendaftarkannya untuk mendapatkan tempat tinggal. Dia berjanji untuk tidak kembali ke pola hidup lamanya, tetapi tidak lama kemudian dia balik ke kebiasaan lamanya dan akhirnya dimasukkan ke penjara. Pelajaran dari kejadian nyata itu disimpulkan perubahan luar/penampilan sebaik apapun tidak akan berguna bisa di dalamnya tetap sama. Link video.
Saya ingat di awal saya dipanggil Tuhan dengan suara yang jelas untuk meninggalkan karier dan kembali ke kota asal saya. Ada perdebatan panjang yang lama dengan Roh Kudus atas perintah itu. Karena walau sejak SD saya rajin di Sekolah Minggu walau gereja berjarak 7km dari rumah. Kemudian saya pindah ke gereja yang lebih dekat dari rumah. Waktu remaja aktif di koor remaja, waktu kaum muda aktif di koor Kaum Muda dan Koor Umum, pergi ibadah dan gereja 6 kali dalam seminggu (gereja kami ibadahnya full setiap hari, jadwalnya sampai sekarang saya masih ingat; Senin: ibadah kaum ibu, Selasa: Doa Penyembahan, Rabu Komsel, Kamis: Pendalaman Alkitab, Jumat: Doa Puasa, Sabtu: Ibadah Kaum Muda, Minggu: Ibadah Raya). Hanya komsel yang diadakan di rumah jemaat, sisanya semua di gereja. Dan saya hanya tidak hadir di ibadah kaum ibu, sisanya kehadiran hampir 100% dalam setahun di semua ibadah. Tetapi di otak saya, doktrin yang saya terima—yang bukan hanya melekat tapi mendarah daging—sesuai kata gembala saya; “Kalau kamu melayani Tuhan dari kecil/muda, maka Tuhan akan membuat semua cita-citamu tercapai. Seperti yang sering saya sampaikan dari mimbar maupun di tulisan, inilah yang membuat saya susah untuk taat.
Sekalipun saya dibaptis di gereja Pantekosta waktu remaja, banyak dengar dan tahu tentang Roh Kudus—yang konon memimpin langkah dan hidup orang percaya—tetapi saya tidak pernah diajar seperti apa pimpinan Roh Kudus, bagaimana mencari pimpinan Roh dan bagaimana hidup dipimpin Roh. Jadi cuma tahu kulit-kulitnya saja. Begitu berurusan langsung dengan Roh Kudus malah menolak, membantah dan melawan. Rajin ibadah tanpa pengajaran yang sehat dan benar, ya ternyata percuma. Sudah dibaptis air dan dibaptis Roh Kudus, ya hidup masih dijalani sepenuhnya dengan agenda dan rencana pribadi. Tuhan cuma jadi aksesoris dan dibutuhkan ketika jalan buntu. Persis seperti winch/derek offroad—cuma dipakai ketika mobil tidak bisa lagi memakai power sendiri untuk melewati jalur berat. Selama masih bisa lewat, winch cuma jadi hiasan. Roh Kudus cuma dimengerti sebagai Penolong waktu susah, stress, bangkrut, yang berfungsi seperti tukang, Santa Klaus dan tidak pernah dimengerti apalagi diterima sebagai Pemimpin langkah hidup kita.
Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat. — (Galatia 5:18)
Ayat ini memberi petunjuk yang jelas bahwa sebagai orang percaya, kita memang tidak lagi hidup di bawah hukum Taurat dengan demikian banyak kewajiban ritual seremonial dengan aneka macam korban hewan dan persembahan yang tidak putus-putusnya. Tetapi dari ayat ini tidak berarti sejak kita jadi orang percaya, maka otomatis kita lepas dari kewajiban-kewajiban itu. Tetapi untuk lepas—atau mungkin dengan kalimat yang lebih enak—untuk tidak lagi melakukan kewajiban-kewajiban dan peraturan ibadah di Perjanjian Lama, maka kita harus hidup dipimpin Roh.
Pertanyaannya adalah: tidak sedikit kita yang pernah diajar tentang pimpinan Roh Kudus bahkan sekalipun kita pernah belajar Pneumatika tetapi tidak diajar bagaimana mencari pimpinan Roh dalam hidup kita. Bahkan di mimbar-mimbar yang selalu melontarkan kata; “Mari membangun hubungan dengan Tuhan” sering hanya slogan tanpa makna. Wong yang ngomong tidak pernah dengar atau tidak dengar-dengaran kepada Roh Kudus. Jadi kalau kita sekarang tidak lagi di bawah hukum Taurat tetapi juga tidak hidup dipimpin Roh, terus jenis hidup seperti apa yang kita sedang jalani saat ini? Bisa jadi hidup sak karepe dewe. Hidup dengan standar kebenaran dan penafsiran sendiri. Tuhan cuma pelengkap dan aksesoris, seperti pada mobil offroad, dipakai hanya waktu menghadapi medan berat. Dan celakanya karena merasa sudah memiliki aksesoris yang mumpuni, seenaknya jalan ke mana saja, karena ada winch yang akan menarik maju dan mengeluarkan kalau sampai terbenam dalam lumpur atau nyemplung ke jurang.
Di masa peralihan, tidak lagi hidup di bawah hukum Taurat tetapi tidak juga hidup dipimpin Roh, tidak heran akan terjadi minimal dua kutub ekstrim; yang pertama kutub cendrung kembali ke ritual seremonial agamawi, dengan berbagai macam persembahan sampai ada aneka persembahan kreatif seperti persembahan salib, persembahan yahanu yahini dan aneka persembahan yang kalau kita cari di PL tidak akan ketemu. Ini kecendrungan balik ke PL untuk kepentingan dan tujuan yang mudah dibaca tapi tidak enak untuk ditulis di sini.
Hihihihihi. Lha tidak ditulis saja sudah bisa dibaca, buat apa ditulis lagi, betul? Betul atau iya? Wkwkwkwk.
Inti dan tema utama kutub ini adalah korban persembahan yang tiada akhir. Dan semuanya diartikan secara sangat sempit sebagai persembahan dalam bentuk materi belaka. Kalau tidak nabur Tuhan akan binasakan, akan dibikin bangkrut, akan ditimpa penyakit, kehancuran rumah tangga dan bermacam petaka dan kutukan. Jadi pelajaran aneka macam persembahan tiap saat yang seakan tuntutan Tuhan. Itu dijadikan hukum yang pertama dan hukum yang utama dalam pengajaran mereka. Pokoknya harus beri, tidak peduli kamu mampu memberi atau tidak. Singkat kata menakut-menakuti pengikut agar memberi, memberi dan memberi. Tidak memberi petaka, hukuman menanti. Ciri ibadahnya akan serius penuh ancaman atas ketidak-taatan, dan kutukan atas semua perbantahan dan pemberontakan terutama dalam hal persembahan, korban dan taburan.
Jadi, tidak punya uang ya akan miskin selamanya, wong tidak bisa nabur duit. Kalau punya uang, tidak usah mikirkan usaha yang tepat, bagaimana mengelola dan mengembangkannya. Bawa aja, jadikan persembahan (baca investasi)—entah dalam bentuk persembahan apapun namanya—nanti Tuhan akan lipat-gandakan. Tuhan digambarkan sebagai pengurus money game. Jadi gampang saja toh, jadikan persembahan, nanti terima balik berlipat ganda sampai 100.000 kali lipat. Tidak usah usaha, kerja keras, bayar karyawan, pajak, dll. Memangnya Tuhan itu robot trading? Kalau sampai tidak terjadi perlipatgandaan, bisa karena memberi tapi tidak percaya, memberi kurang banyak, belum waktunya pelipat gandaan, jadi tunggu terus, ada dosa yang menghalangi pelipat gandaan, ada iblis yang menghalangi. Gitu aja koq repot. Terima dulu persembahannya, terjadi tidak bukan urusan.
Kutub ini menagih persembahan dengan aneka ancaman dan kutuk. Tuhan dilukiskan sebagai penuntut persembahan dan akan menghukum semua yang tidak memberi persembahan. Semua perembahan di PL dipraktekkan kembali dengan sedikit modifikasi ditambah dengan aneka ajaran tentang taburan yang kreatif.
Kutub ini bisa bikin negara miskin karena orang jadi malas usaha, sehingga tidak bisa dipunguti pajak. Dan penumpukan dana pada pundi-pundi para tokohnya—tokohnya punya berderet mobil built up di garasi, yang ikut dia masih naik bemo jemputan untuk pergi ibadah. Anak pemimpin kuliah di sekolah terbaik di luar negeri, anak orang yang ikut dia untuk bayar uang sekolah lokal yang murah saja kembang-kempis. Rumah pemimpin ada kolam renang besar, lha, rumah pengikut kalau hujan langsung semua jadi kolam renang—bahkan kamar tidur, dapur jadi kolam renang. Ini jelas menyuburkan kesenjangan sosial, kecemburuan sosial dan secara tidak langsung bisa menyuburkan paham sama rata sama rasa si Karl Marx yang kita bersama tolak. Sadar, bung!
Saya ingat seorang ibu pernah menelpon saya waktu siaran radio, dia cerita harus menjual lemarinya untuk membayar perpuluhan. Karena penghasilannya tidak cukup untuk biaya hidup bulanan, tetapi dia tetap diharuskan membayar perpuluhan. Jadi dia harus menjual lemarinya untuk dipakai bayar perpuluhan. Sekejam itukah Tuhan?
Tapi pak Asen itu hukum Tuhan lho, dan janji Tuhan akan membuka tingkap-tingkap langit kalau orang membayar perpuluhan.
Kalau dia bayar, Tuhan akan curahkan berkat ke dia.
Tidak sesederhana itu, tuan Crab!
Mengapa menuntut orang membayar persembahan lebih diutamakan daripada mengajar orang untuk melakukan Firman Tuhan? Persembahan adalah salah satu hukum Tuhan, jangan dibuat menjadi satu-satunya hukum Tuhan. Dan di dalam Firman Tuhan juga ada pelayanan kepada orang-orang miskin. Mana pelayanan itu untuk ibu yang hidup dalam kondisi demikian memprihatinkan? Kalau pelayanan semacam itu ada, minimal dia akan punya sisa uang untuk memberi persembahan tanpa perlu menjual lemari hanya untuk membayar perpuluhan.
Seorang ayah yang baik dan sehat normal tentu saja lebih senang memilih dirinya yang sengsara daripada anaknya yang menderita, betul? Lha, uang yang dia rasa sepenuhnhya hak dia kenapa ditumpuk terus dan minta terus sementara anak-anak di bawah kakinya kekurangan? Lebih baik dikeluarkan dan dibagikan ke anak-anaknya, supaya mereka hidup berkecukupan.
Kamu tidak mengerti masalahnya, Spongebob! Sini, kami jelaskan kenapa kami harus keliatan sukses, kaya raya, harta berlimpah:
1. Supaya yang ikut kami tetap memberi karena mereka percaya apa yang kami janjikan ke mereka bahwa mereka akan diperkaya Tuhan.
Mereka bisa melihat buktinya dalam hidup kami, jadi mereka akan terus memberikan kami, dengan harapan akan dibuat kaya seperti kami-kami ini. Kami harus jadi idola mereka, daripada mengidolakan Yesus; keledai pinjaman, kuburan pun milik orang lain. Sudah tidak jamannya lagi padang gurun, itu hanya untuk orang Israel. Yesus sudah pikul salib, jadi sudah tidak masanya ajarkan pikul salib lagi, kan sudah dipikul Yesus. Sekarang kita harus kaya raya seperti Abraham yang diberkati dalam segala hal. Waduh, ngeri dah klo mentalnya gini.
2. Supaya kami lebih gampang menarik banyak pengikut baru.
Daripada mereka melihat yang di mimbar hidup sederhana, bahkan miskin, mana bisa mereka tertarik dan jadi pengikut? Mau narik downline harus bisa tunjukkan bukti kesuksesan dong, baru orang gampang terbuai dan masuk dalam perangkap. Makin kita dilihat sukses, makin besar animo orang untuk bergabung. Mereka akan menelan omongan kita tanpa berpikir panjang. Mereka tidak akan berpikir dua kali, langsung percaya dan ikut, karena melihat sebagian bukti di depan mata. Yang sebagian lagi mereka tidak ingin tahu, pokoke melu. Nah yang sebagian lagi itu jangan sampai mereka tahu, bahaya, bisa minggat dan tidak akan balik. Exposé sebesar-besarnya yang bisa menarik, dan sembunyi serapat-rapatnya yang bisa membuat mereka minggat.
3. Dagang bakso pasti saingannya juga sesama dagang bakso.
Walau ada lapak pecel di sebelahnya, penjual bakso pasti tidak akan merasa tersaingi dagangannya. Tetapi lapak bakso yang jauhpun bisa dianggap saingan potensial dan perebut pangsa pasar/langganan.
Jadi, ini kompetisi, Spongebob.
Kalau mau pengikut tidak ditarik atau pindah ke tempat lain, ya harus terus menunjukkan prestasi yang lebih dari kompetitor. Kalau tidak, mereka bisa transmigrasi ke kandang tetangga. Rugi bandar.
Harus lebih besar gedungnya, lebih mewah interiornya, lebih mahal sound system dan alat musik dan lightingnya, lebih terkenal pembicaranya, dan yang super paling amat penting: kualitas yang hadir harus dari strata sosial atas, supaya yang sosialita merasa selevel untuk hadir, karena itu kawanan berkelas semua. Domba gajah tidak nyaman kumpul dengan domba tinggal tulang dalam satu kawanan. Domba gajah bisa menarik domba gajah lain untuk bergaung, sedang domba tinggal tulang akan membuat domba gajah menjauh.
4. Dengan memiliki harta kekayaan berlimpah maka kami bisa mewujudkan apapun saja yang kami inginkan dan rencanakan, sehingga pengikut kami akan makin menyegani kami karena menganggap kami sebagai hamba yang demikian spesial di mataNya, sehingga mereka akan percaya dan menuruti apapun yang kami katakan dan inginkan karena meyakini itu pasti dari Tuhan. Jadi mereka akan pasrah bongkokan dan bisa dikendalikan dan dimanfaatkan sepenuhnya. Tidak lagi ada pengujian dan pikiran sehat, hanya percaya dan turuti sampai hancur atau baru sadar setelah terlambat.
Dan yang paling penting, ketua kelompoknya harus kaya melebihi pengikut-pengikutnya, karena berkat jasmani itu tolok ukur pemakaian, perkenan, pengurapan Tuhan atas seorang hamba. Kalau seorang hamba sederhana, miskin, mau bisa memuliakan Tuhan? Mana mungkin Tuhan memakai hamba model begitu. Jangan diikuti, memangnya kamu mau ikut tetap miskin seperti mereka? Makanya ikuti yang kaya raya, mana bisa orang miskin bikin kamu kaya? Suruh mereka bikin diri mereka kaya dulu, untuk buktikan mereka hamba yang dipakai Tuhan, baru ikuti mereka. Pokok prinsip ini menakutkan, ketika semua diukur dengan materi. Ciri ibadahnya akan serius penuh ancaman atas ketidak-taatan, dan kutukan atas semua perbantahan dan pemberontakan. Rasa bersalah yang ditekannya hanya pada pemberian persembahan. Hukum dan perintah yang lain sering sambil lalu saja.
Lho, koq dari semua alasan di atas tidak ada satupun hubungannya dengan Tuhan, apalagi memuliakan Tuhan?
Spongebob, kamu itu bego, idiot atau pura-pura bodoh? Orang kerja atau usaha di bidang apapun untuk jadi kaya, kan? Tidak usah terlalu idealis, di dunia ini kalau kita miskin tidak ada orang yang akan hargai apalagi hormati, paham?
Belum paham, Tuan Crab.
Ya wes ,dasar IQ debil tidak bisa paham.
Semuanya itu didengar oleh orang-orang Farisi, hamba-hamba uang itu, dan mereka mencemoohkan Dia. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Kamu membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu. Sebab apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah. — (Lukas 16:14-15)
Sebab mereka lebih suka akan kehormatan manusia dari pada kehormatan Allah. — (Yohanes 12:43)
Kutub kedua cendrung menyalahgunakan kasih karunia, hidup bebas tanpa keterikatan dengan Tuhan. Kapan ada waktu, ibadah—kapan tidak ada waktu, ya libur. Kapan sempat berdoa, tidak sempat, tinggal telpon orang lain tuk mendoakan. Jemaat tidak perlu diajar doa sendiri, ada tim doa yang peka, penuh urapan, karunia untuk mendoakan mereka, kirim kartu beban doa dan sertai dengan kirim persembahan biar didoakan dengan penuh semangat.
Ujung-ujungnya mengarah ke sana lagi—tidak usah punya waktu baca Firman sendiri, tidak perlu punya saat teduh pribadi yang konsisten, semua serahkan kepada para pemimpin rohani—dan jangan lupa serahkan juga persembahan, ojok masalahmu tok yo, ora sudi aku nek ngono.
Lha iki sampeyan pendoa bayaran jenenge.
Mbuh wes.
Ini yang cenderung memaparkan pengajaran utopis—ikut Yesus semua masalah beres, ikut Yesus: miskin jadi kaya, melarat jadi konglomerat. Lha faktanya murid-murid Tuhan hidup mereka ditunggang balikkan waktu ikut Yesus. Lewi (Matius) punya jabatan enak sebelum ikut Yesus. Petrus, Andreas, Yakobus, Yohanes punya usaha penangkapan ikan. Hidup nyaman, gemah ripah loh jinawi, ikut Yesus justru banyak aniaya, bahkan Yakobus adalah rasul pertama yang mati dibunuh sebelum murid-murid lain. Jelas itu injil dan yesus yang lain yang diberitakan, bukan Injil dan Kristus. Tapi tema sukses, kaya, itu tema yang paling banyak menarik orang. Hidup tidak perlu sesuai Firman Tuhan, yang penting jumlah persembahan sesuai harapan yang mengajar.
Nanti semua beres koq, yang penting tabur tuai itu. Kamu ingin kaya kan? Makanya ayo (kamu) nabur yang banyak supaya (aku) nuainya banyak. Pemimpin kutub ini akan mengajarkan mau kaya, tabur yang banyak. Bagaimana bisa menuai banyak kalau tidak menabur banyak? Ini senjata utama ketua aliran ini. Dia itu memangnya pemimpin kibbutz ngurusi tabur menabur pertanian?
Pendekatan kutub ini terhadap tuntutan pemberian persembahan lebih soft dari aliran pertama. Kalau yang pertama main ancam, pakai kekerasan dan kutuk, aliran ke dua memakai gerakan berputar dengan menawarkan cara mencapai tujuan dengan cepat. Karena persembahan dimengerti sebagai cara meloloskan segala permintaan dan harapan. Ingin permohonan dikabulkan, ayo bayar sogokan dulu biar dijawab. Inti kedua kutub ini sebenarnya sama, memalingkan fokus orang percaya kepada harta benda duniawi, bukan kepada Yesus. Menurunkan, bahkan menghina Yesus yang di mulut diakui sebagai Tuhan, tapi pada kenyataannya cuma diperlakukan sebagai batu lompatan untuk mencapai keinginan dan cita-cita pribadi.
Pengajaran akan sangat lunak, cenderung kompromi dan tidak akan pernah berani menyinggung tentang dosa. Akan sangat jauh dari khotbah yang menemplak, isinya yang ringan-ringan saja, populer dan pertemuan seperti social club. Bikin semua orang merasa nyaman buat mereka merasa sudah menjadi pelaku firman, menyinggung dosa bisa dianggap lebih jahat daripada berbuat dosa. Menyampaikan teguran firman adalah khotbah negatif yang bukan dari Tuhan, tetapi berasal dari roh menghakimi. Khotbah harus memberi semangat, harapan dan hiburan.
Just make everybody happy, and even squeezed hardly they will give generously. In return they will make you happy by giving you what you want. It is reciprocal, take and give, it is good, isn’t?
No, it is not, and it will never be!
Kebalikan dari kutub pertama, kutub kedua ini takut kepada jemaat. Takut mereka tidak nyaman, takut mereka tersinggung, takut mereka pindah. Jadi fokusnya buat mereka senang agar semua bisa berjalan tanpa guncangan. Senangkan mereka, dan mereka akan balik menyenangkan pengurus kawanan. Jangan khotbah keras-keras, yang enak dan nyaman di telinga saja kalau mau selamat.
Kutub pertama menimbulkan guilty feeling kalau tidak memberi persembahan yang tidak henti-hentinya, kutub kedua memberi rasa nyaman dan menukarnya dengan keuntungan-keuntungan materi.
Sudah baca segini panjang terus apa hubungan dengan judul renungan di atas? Koq tidak ada relevansinya sama sekali?
Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh — (Galatia 5:25)
Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya. — (Matius 20:1-2)
Kita tahu kisah ini dengan baik, tentang para pekerja yang bekerja dari pagi tetapi di sore hari mereka hanya menerima upah yang sama bahkan dengan pekerja yang baru mulai bekerja jam 5 sore. Tuan pemilik kebun bersikap tidak adil, tidak menghargai jumlah jam kerja pekerjanya. Tetapi kalau kita melihat lebih dalam ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil, dan saya pernah menyampaikan dari mimbar. Kita melihat beberapa hal yang inti dari kisah ini, bahwa orang yang menantikan pekerjaan sampai jam 5 sore mendapat upah sama dengan orang yang bekerja dari pagi. Jadi menantikan juga diperhitungan sebagai pekerjaan. Karena Tuhan memperhitungkan upah orang yang tetap percaya dan menantikan Dia. Orang yang sepertinya sedang menganggur, tidak ada status, tidak ada pekerjaan, usaha maupun pelayanan, bahkan sedang menunggu pertolongan dan jawaban Tuhan, setialah dan bertekunlah, ada upah menunggu yang akan diberikan pada waktunya. Pekerja yang mulai bekerja dari pagi hari hanya memulai bekerja setelah terjadi tawar menawar upah, dan ada kesepakatan.
Kisah ini mungkin sederhana tetapi bagi saya kisah ini mengingatkan saya ketika Roh Kudus berurusan langsung dengan saya untuk masuk ke panggilan hidup saya. Dengan jelas saya mendengar suara untuk meninggalkan karier saya dan pulang ke kampung halaman. Shock yang pertama dalam konsep dan pengertian saya tentang Tuhan. Katanya kalau melayani Tuhan sejak kecil semua cita-cita Tuhan akan buat tercapai. Lha, saya tidak ingin jadi hamba Tuhan, keinginan utama hidup saya adalah jadi pengusaha, terutama bidang perhotelan dan pariwisata.
Saya memang pernah ditanya guru waktu SMP ingin jadi apa, saya bilang pendeta, dan saya ingat seiisi kelas terbahak-bahak mendengarnya. Waktu itu saya baru dibaptis air dan masih sering sakit-sakitan. Bapak gembala saya sering datang membezuk saya dan menguruti saya. Jadi saya beranggapan profesi jadi hamba Tuhan itu mulia, tetapi itu hanya impulse sesaat, dan segera kembali ke cita-cita semula. Jadi saya jadi stress berat karena merasa itu bukan suara Tuhan. Karena Tuhan pasti akan membuat saya mencapai cita-cita saya, lha ini suruh berhenti kerja dan balik ke kampung halaman. Jaman itu pariwisata tidak semaju sekarang, hotelpun tidak banyak. Tetapi suara itu terus berbicara hal yang sama, tinggalkan semua dan kembali ke kota asal.
Dari shock karena suara itu memutar-balikan konsep teologi saya, sekarang saya membantah dan mencoba tawar-menawar denganNya. Saya katakan saya masih kursus computer, biarkan saya kursus sampai menjadi programmer, sehingga saya nanti bisa buka kursus computer di kota asal saya. Tidak ada jawaban, hanya tinggalkan semua dan kembali. Saya akan menurut tapi berikan dulu saya tabungan sejumlah… (malu saya tulis karena itu menunjukkan saya mengaku percaya kepadaNya, melayaniNya sejak remaja, tetapi tidak percaya pada pemeliharaanNya). Tetap suara yang saya dengar tinggalkan semua dan kembali. Saya mau kembali tapi pendidikan, pengalaman saya tidak akan berguna di kota asal saya, bagaimana nanti cari makan? Pariwisata belum maju, sedang diposisi yang sekarang sebagai anak muda, duitnya banyak, lha, pulang kampung mau jadi apa?
Saya bisa tulis demikian banyak keberatan, alasan, keberatan saya yang berlangsung bulanan. Berbantahan dengan RohNya. Tapi supaya tidak terlalu panjang renungan ini saya persingkat saja. Akhirnya saya menyerah dan pulang dengan satu pikiran taat pasti diberkati, saya pulang pasti ada rencana Tuhan yang luar bisa untuk mengangkat saya. Ternyata huaahahahaha saya penganut teologi sesat. Taat malah masuk proses, bertahun-tahun status tidak jelas, semua hasil kerja abis tidk berbekas. Mencoba usaha bukannya untung, bukan juga buntung, malah jadi kayak puntung yang tidak berharga. Delapan tahun saya dalam proses yang saya rasa paling sakit dalam hidup saya. Malu ketemu temen karena uploading status tiada akhir, setelah itu barulah Tuhan membawa saya ke pelayanan pedesaan, pedalaman, keliling Indonesia kemudian ke banyak negara.
Proses paling sakit sudah terlewati—tidak berarti proses sudah selesai, bahkan sampai saat ini proses terus berlangsung. Termasuk dihubungi orang-orang yang hanya maunya jalan pintas dan solusi, tidak mau diajarkan jalan-jalan Tuhan. Kalau menelpon langsung maunya ada petunjuk dari Tuhan akan masalah yang sedang dihadapi. Diajar Firman Tuhan tidak tertarik, mendengar khotbah malas. Pokok ada problem maunya Tuhan langsung kasih petunjuk dan jalan keluar. Waktu menelpon minta dibantu doa, langsung didoakan, setelah selesai doa malah bilang “Cuma gitu?” Maunya ada pernyataan, pesan Tuhan.
Lha, baca Firman Tuhan malas, dengar khotbah moh, maunya Tuhan harus bicara memberi petunjuk waktu dia butuh. Kon iku sopo sih? Di website ini kami bisa mengecek grafik pengunjung, OS gadget yang dipakai apakah lewat hp atau computer, khotbah yang diakses, berapa lama mendengar kotbah yang diakses, dll. Rata-rata tidak tertarik dengar khotbah, maunya nelpon dan langsung dapat solusi. Kalau tidak diproses Tuhan dulu, rasanya ingin saya berkata kasar ke orang-orang seperti itu.
Ada suatu ketika saya mengeluh kepada Tuhan, satu permintaan saja tidak dijawab bertahun-tahun, apalagi ada dua tiga permintaan. Bisa-bisa sampai matipun belum tentu dijawab. Saya merasa Tuhan itu keras betul, tidak ada simpati atau belas kasihan. Cuma minta dikasi kelegaan dan keluar dari proses, tidak pernah dijawab. Lama setelahnya baru saya sadar lha memang proses itu harus saya lewati. Koq, minta diberi kelegaan dan dikeluarkan dari sana. Mana bisa keluar kalau dianggap belum selesai?
Jadi barang setengah jadi itu tidak ada gunanya. Ada saatnya saya merasa Tuhan meninggalkan saya dan tidak bertanggung jawab, karena saya sudah pulang, yang saya alami koq begitu menyakitkan? Kemarahan kepada Tuhan begitu menumpuk. Dipanggil terus seperti ditelantarkan di padang gurun yang gersang tanpa apapun yang menyegarkan jiwa, pikiran dan dompet. Setelahnya saya sadar kenapa Dia seperti tinggalkan saya, karena saya memaksakan kehendak kepadaNYa, sedang Dia harus me-reprogram segenap otak, pikiran, hati dan hidup saya. Jadi Dia diam bukan berarti pergi jauh, tetapi dia menunggu sampai saya tenang dan bisa diajar. Dia tidak menjawab bukan berarti tidak bertanggung-jawab atas panggilanNya, tetapi ada kualitas iman, pengenalan, ketaaatan, ketergantungan dan kedekatan akan Dia yang harus ditanamkan di dalam saya.
Sekarang nulis kayak gini enak, enteng, tapi waktu mengalaminya, sakit lahir batinnya tidak bisa dijelaskan dan tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh yang tidak mengalaminya. Tetapi bagaimana kita bisa menghibur orang lain bila kita tidak pernah dihiburkan Tuhan. Bagaimana kita bisa menguatkan orang kalau kita sendiri tidak pernah mengalaminya?
Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. — (2 Korintus 1:3-4)
Jadi ketika kita dalam tekanan, problem, pergumulan yang beratnya belum pernah kita alami sebelumnya, bersyukurlah, itu tanda Tuhan sedang berurusan dengan hidup kita. Tetaplah tekun berdoa dalam menantikan Dia. Tidak usah kecewa ketika tidak ada satupun masalah yang selesai, tidak ada titik terang yang terlihat. Dia sedang memprogram ulang hidup kita, dengan meng-uninstall semua program yang kita buat sendiri dan menginstall programNya yang tidak pernah gagal itu. Jangan berikan syarat kepada Tuhan akan taat, akan tekun, akan tetap percaya, akan melayani kalau Dia jawab satu saja dulu pergumulan kita. Minimal ada satu pergumulan yang dijawab sehingga kita tahu Dia peduli, ketekunan kita tidak sia-sia. Kalau Dia jawab satu saja dari pergumulan yang segunung, itu akan memberi kita semangat baru, minimal ada rasa lebih enteng sedikit. Tapi, koq, belum ada satupun yang Dia bereskan? Pergumulan lain boleh belakangan, yang penting kita mau lihat ada perubahan, ada jawaban di hidup kita. Dia bisa menyelesaikan semuanya sekaligus, tetapi apa untungnya bagi kelanjutan hidup kita? Tuhan lebih mengenal kita daripada kita mengenali diri kita sendiri, bahkan sebelum kita bakal anak Dia (Mazmur 139:16).
Ingat cerita di awal tentang Jim Wolf, perubahan di bagian luar tidak akan berguna tanpa perubahan di bagian dalam. Apa yang di luar kita—ekonomi, usaha, keuangan, karier—yang membuat kita tertekan, stress, hidup menderita bila diselesaikan Tuhan tidak akan banyak berguna bila iman, ketaatan, ketekunan, pengenalan akan Tuhan, kemurnian, hati yang mengasihi Tuhan, tidak tertanam di hati kita. Tidak lama setelah semuanya pulih dan kembali normal kita akan hidup serampangan lagi, kembali membuat masalah di hidup kita, bahkan mungkin yang lebih buruk dari sebelumnya.
Jadi, Tuhan selesaikanlah proses yang Engkau kerjakan dalam hidupku, sehingga setelah itu hidupku tidak akan sama lagi. Aku tidak akan memaksaMu mengeluarkan aku dari pergumulan ini. Aku tidak akan fokus pada masalahKu, beri aku hati yang rela dibentuk dan roh dan hati yang baru, jauhkan hati yang keras. Sehingga apa yang Engkau cari dihidupku Engkau temukan, untuk menyenangkan hatiMu. Amin.