Jalan yang rata dan lurus

Beberapa hari ini saya digerakkan untuk menulis renungan Firman Tuhan. Dan ini adalah renungan ke-tiga yang saya tulis secara berturut-turut selama tiga hari; tidak biasanya saya diinspirasikan untuk menulis secara berturut-turut seperti ini. Bahkan selama pandemi Covid-19 sangat jarang saya diberikan sesuatu di dalam roh saya untuk saya sampaikan lewat khotbah mimbar maupun tuangkan lewat renungan.

Kelemahan orang yang tidak sekolah Teologi adalah dia tidak bisa menggali tema dan pokok renungan untuk kemudian ditulis atau disampaikan secara lisan—kami harus akui, kami tidak terdidik dan terlatih untuk itu. Tidak jarang kami hanya diberikan entah judul atau ayat saja tanpa penjelasan lebih lanjut, walau kadang ada juga diberikan sedikit gambaran/deskripsi pokok bahasannya. Ketika disampaikan atau ditulis maka sangat sering yang terjadi inspirasi itu mengalir begitu saja dan di akhir kami sadar apa yang tidak pernah direncanakan, tidak ada di pikiran, timbul dan muncul begitu saja untuk disampaikan atau ditulis. Bahkan kami yang menjadi alat penyampaian menyadari bahwa ada pengertian-pengertian baru yang kami sendiri belum pernah dapatkan sebelumnya—itu kami dapatkan ketika menyampaikan renungan yang diinspirasikan.

Sejak seminggu lalu saya berencana pergi hari Sabtu ini, memancing pasiran karena cuaca dan ombak sudah mulai lebih bersahabat. Minggu lalu saya pergi tetapi angin dan ombak terlalu besar sehingga tidak bisa memancing. Untuk mancing ke tengah pemilik perahu juga tidak berani mengantar karena ombak yang tidak bersahabat. Sulit untuk mengulang rekor mancing waktu pelayanan di Kupang; dari pelabuhan Tenau ke utara dengan perahu sekitar satu jam setengah; di laut sedalam 60-80 depa kami mendapat ikan hampir 90 ekor. Tapi ada hal yang lebih penting yang harus saya kerjakan, yaitu menulis apa yang ditaruh Tuhan di hati saya lewat renungan ini. Tugas harus lebih diutamakan daripada kesenangan sendiri; tanggung jawab harus diletakkan di atas hobi pribadi; menikmati duduk di depan laptop menulis apa yang diinspirasikan melebihi menikmati tarikan joran yang strike.

Saya digerakkan untuk menulis tentang jalan yang rata dan lurus, karena di firman Tuhan ada menuliskan bahwa Dia akan meratakan dan meluruskan jalan umatNya. Di bawah ini beberapa ayat tentang hal itu:

  • Yeremia 31:9 — Dengan menangis mereka akan datang, dengan hiburan Aku akan membawa mereka; Aku akan memimpin mereka ke sungai-sungai, di jalan yang rata, di mana mereka tidak akan tersandung; sebab Aku telah menjadi bapa Israel, Efraim adalah anak sulung-Ku.
  • Yesaya 45:2 — Aku sendiri hendak berjalan di depanmu dan hendak meratakan gunung-gunung, hendak memecahkan pintu-pintu tembaga dan hendak mematahkan palang-palang besi.
  • Yesaya 26:7 — Jejak orang benar adalah lurus, sebab Engkau yang merintis jalan lurus baginya.
  • Mazmur 107:7 — Dibawa-Nya mereka menempuh jalan yang lurus, sehingga sampai ke kota tempat kediaman orang.

Persepsi dan perspektif kita ketika mendengar bahwa Tuhan akan meratakan dan meluruskan jalan kita biasanya ada dua; pertama karena jalannya rata tidak akan ada kerikil, batu-batu tajam yang harus dilewati; ke-dua, karena jalannya lurus maka bisa ngebut, cepat dan langsung sampai di tujuan—tidak berliku-liku dan tidak pakai lama. Persepsi ini yang membuat kita jadi bingung dan penuh tanda tanya tentang kebenaran Firman Tuhan ini. Karena kalau memang benar Tuhan meratakan jalan hidup kita mengapa hidup ini seperti bungee jumping tanpa tali terjun bebas menukik turun ke lembah yang dalam?

Konon jalan Tuhan rata, tetapi hidup seperti naik roller coaster yang naik turunnya demikian cepat, punya uang cuma sebentar belum akhir bulan sudah habis. Baru merasakan lega cuma sesaat, masalah baru langsung datang lagi bersama kawan-kawan sebangsanya. Hari esok sudah terbayang penuh masalah, pergumulan, kesulitan menggunung setinggi Himalaya di depan mata—bahkan terlalu tinggi serasa tidak mungkin didaki untuk melewatinya. Kalau gunung Jungfaujoch walau puncaknya tertinggi di Eropa, tinggal duduk manis di kereta sampai ke atas tanpa capek dan lelah. Ini masalah bukan hanya segunung, kadang bergunung-gunung sambung menyambung seperti di Sierra Nevada Spanyol.

Kita akan belajar sedikit tentang jalan yang rata yang dikatakan Firman Tuhan, sehingga pengertian kita tidak berbeda dari yang dimaksudkan oleh Firman. Karena kalau pengertian kita berbeda, maka akan terjadi kebingungan, tanda tanya, bahkan tidak lagi mempercayai apa yang dikatakan Firman Tuhan. Kita akan menuduh Tuhan tidak benar, padahal asumsi dan persepsi kita yang keliru, dan jauh dari yang dimaksudkan. Lost in translation.

Mari berpikir sejenak; untuk meratakan jalan berarti gunung harus diratakan dan lembah ditimbun (Lukas 3:5). Sepintas untuk membangun jalan yang rata dan lurus pasti biaya, waktu dan tenaga yang diperlukan akan jauh lebih banyak daripada membuat jalan yang ada liku-likunya. Bayangkan bila ada gunung tinggi di depan; lebih murah dan cepat bila dibangun jalan memutar daripada membelah gunung atau membuat terowongan panjang. Saya ingat dalam perjalanan ke Danau Lugano, dari kaca kereta saya melihat ada beberapa jalan lain di lereng pegunungan, bukan satu tapi ada beberapa. Kelihatan lori besar, dan kendaraan lain keluar masuk terowongan. Tidak dibuat jalan berliku, mendaki dan menurun, tetapi dibuat terowongan-terowongan untuk dilalui kendaraan dan kereta. Jalannya jadi rata, tetapi halangan gunung-gunung harus ditembus. Kalau jalan mau rata, maka lekukan harus ditimbun, lebih enak dibuat jalan menurun. Buat apa memaksakan jalan harus rata bila boros biaya, tenaga, waktu?

Kita bisa mengerti sekarang jalan rata tidak bisa diartikan jalan yang enak, mulus, tanpa halangan dan bisa ngebut sesuai pengajaran percepatan. Tetapi jalan yang rata seringkali waktu membangunnya bisa lebih lama dari membangun jalan yang mendaki dan menurun menuruti kontur tanah. Jadi jalan yang rata berarti kita harus menyerah dan menunggu kairos Tuhan, bukan dengan kekuatan sendiri mendaki gunung, menyeberangi sungai untuk sampai ke tujuan. Tetapi percaya Tuhan yang akan membuatkan kita jalan dengan meratakan gunung dan menimbun lembah di depan kita. Kita tidak perlu berusaha dengan kekuatan sendiri dengan cara manusia, aneka trik untuk sampai; biar Tuhan dengan caranya yang mengangkat kita. Karena kalau gunung sudah Dia ratakan maka perjalanan kita tidak perlu lagi menuruni lembah di depan kita, karena Dia akan menimbunnya supaya jadi jalan yang rata. Tapi kita mesti menunggu Dia meratakan gunung dulu.

Tahun 2002 pelayanan saya mengalami goncangan yang luar biasa.
Mantan gembala saya mendatangi gereja di mana saya masih ada jadwal pelayanan dan menyampaikan agar gereja itu tidak lagi mengundang saya karena saya punya roh pemberontakan dan akan mengajar jemaat mereka untuk berontak. Karena gembala saya dulu melayani di gereja itu sebagai Worship Leader, mereka langsung percaya, sehingga pelayanan yang sudah terjadwal dibatalkan tanpa cross check kepada saya, ataupun memberi saya kesempatan untuk klarifikasi. Padahal masalah intinya adalah saya tujuh kali ditawarkan untuk menjadi kepala kantor yang nota bene adalah jabatan sebagai wakil gembala, karena dia akan pindah ke kota lain. Karena tahu jelas panggilan saya di travelling ministry, tawaran itu saya tolak. Itu yang kemudian disebarkan kemana-mana sebagai roh pemberontakan. Bahkan dia menghasut orang nomer tiga di sinode kami untuk melarang saya melayani di gereja-gereja cabang. Si orang nomer tiga langsung menelpon pengatur jadwal di pusat untuk membatalkan dan menghapus semua jadwal saya dalam tahun itu. Dan itu dilakukan tanpa sepengetahuan ketua sinode. Jadwal saya di sinode itu sangat banyak, dan dengan pembatalan itu, 80% lebih jadwal pelayanan saya jadi kosong tahun itu.

Sore setelah saya menerima telpon dari pengatur jadwal pusat yang membatalkan seluruh jadwal pelayanan saya, saya berdoa kepada Tuhan mengajukan beberapa opsi kepada Tuhan. Saya katakan; “Tuhan, jadwal saya sudah kosong, (walau masih ada pelayanan di persekutuan-persekutuan doa dan pelayanan konseling). Jadi apakah saya harus balik kerja di Bali, ke Singapore mencari teman-teman mungkin ada pekerjaan yang bisa saya ambil, atau pulang kampung?” Jawaban Tuhan; “Tetap di Surabaya.” Tapi pelayanan saya sudah habis, dan saya orang workaholic; tidak bisa diam tanpa aktivitas. Juga kalau tetap di Surabaya biaya hidup besar, bayar kost saya sudah tiga juta rupiah sebulan, belum biaya makan, dll. Tapi Roh Kudus ulangi kata yang sama untuk tetap tidak pergi dari kota Surabaya. Dan kesaksian selanjutnya banyak saudara yang sudah dengar dari khotbah maupun tulisan saya.

Ada gunung yang tidak mungkin saya daki, tidak mungkin saya lewati, tetapi Dia meratakannya sehingga saya bisa melewati masa itu dan tetap melayani sampai sekarang. Kalau gunung sudah diratakan, maka lembah akan ditimbun, tidak lagi ada perjalanan menurun. Puji Tuhan, tahun 2002 pelayanan saya dihancurkan total, efeknya sampai ke gereja-gereja kecil dan persekutuan-persekutuan ikut juga terpengaruh, tetapi awal 2004 saya justru mulai pelayanan di Eropa.

Tunggu, gunung di depanmu pasti diratakanNya. Jangan kecil hati, tawar hati, hilang iman ketika gunung yang terlalu tinggi itu menghadang di depan mata. Cari kehendakNya dan lakukan, maka gunung setinggi apapun akan Dia ratakan dan engkau bisa melewatinya. Jangan mencoba melewatinya sendiri, apalagi mencari jalan memutar yang lebih nyaman, karena tanpa gunung di depanmu diratakanNya, maka lembah-lembah yang menganga dalam sudah menunggu di depanmu.

Ra kapok ta? Ndak wedi kon?

Kita ambil waktu sejenak untuk menguji diri kita; kalau melihat ada masalah di depan mata, bukankah kita akan cendrung berpikir untuk menghindarinya? Daripada maju terus akan merugikan, lebih berbahaya maka kita akan ambil jalan yang berputar/mencari jalan aman minimal mengurangi dan memperkecil risiko?

Setiap jalan orang adalah lurus menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati. – (Amsal 21:2)

Kita tahu jarak terdekat antar dua benda/kota adalah bila ditarik garis lurus antar kedua titiknya.
Kembali timbul permasalahan tentang arti dan makna jalan yang lurus. Jalan yang lurus dalam gambaran pikiran kita sebagai jalan yang nyaman, paling pendek dengan waktu paling singkat untuk sampai ke tujuan. Kalau jalannya lurus, koq, bertahun-tahun tidak sampai, demikian lama menunggu janji, jawaban, penggenapan, promosi dan pertolongan Tuhan? Bukankah jalan itu sepertinya berliku tidak habis-habisnya sehingga sampai sekarang tidak sampai tujuan? Kita punya pertimbangan, analisa, pengalaman, kebutuhan, yang mempengaruhi tindakan dan keputusan yang kita ambil. Dan karena alasan-alasan itu kita merasa keputusan dan jalan yang kita ambil sudah benar. Tetapi Tuhan menyelidiki dan tahu dasar hati kita.

Setelah Firaun membiarkan bangsa itu pergi, Allah tidak menuntun mereka melalui jalan ke negeri orang Filistin, walaupun jalan ini yang paling dekat; sebab firman Allah: “Jangan-jangan bangsa itu menyesal, apabila mereka menghadapi peperangan, sehingga mereka kembali ke Mesir.” – (Keluaran 13:17)

Kita melihat ayat di atas, ada yang aneh mengapa Tuhan tidak langsung memimpin mereka untuk mengambil jalan yang paling dekat menuju Kanaan. Tetapi masalahnya mereka tidak siap untuk menghadapi apa yang menunggu di jalan yang paling dekat itu, sehingga Tuhan tidak membawa mereka melewati jalan itu. Kita menginginkan apa yang kita butuhkan, rindukan, inginkan, dan apa yang Tuhan janjikan segera terjadi dalam waktu singkat dalam hidup kita. Tetapi di mata Tuhan, pengertian kita tentang rencana Tuhan, jalan Tuhan, cara Tuhan bekerja, menjawab dan menggenapi belum tepat.

Tuhan tahu persepsi mereka tentang janji Tuhan membawa mereka ke Kanaan dan dan harapan mereka dalam perjalanan yang dipimpin Tuhan. Mereka semata-mata hanya ingin lepas dari perbudakan, dan tidak ada keinginan masuk Kanaan. Pokoknya merdeka dari perbudakan, Kanaan bukanlah kerinduan mereka; hanya hidup nyaman yang jadi tujuan utama. Ada persamaankah dengan orang percaya saat ini, tidak pernah merindukan hidup bersama Tuhan dalam kerajaannya; yang diinginkan hanya hidup nyaman, kaya raya, sukses di dunia? Dan berpikiran, pokoknya nanti mati otomatis buka mata di sorga. Pastilah mereka berpikir janji Tuhan akan digenapi dengan mudah tanpa ada pergumulan, kesulitan—karena Tuhan yang menjanjikannya. Tinggal percaya, tunggu dengan santai akan tergenapi dengan sendirinya. Perjalanan mereka diperintah, dan dipimpin Tuhan—mana boleh ada halangan, tantangan, problem? Bukankah Tuhan yang akan mempermudah dan membereskan semuanya? Benarkah pengertian yang demikian?

Kita tahu motivasi keluar dari Mesir bukan untuk menuju Kanaan, tapi kenyamanan hidup, lepas dari kerja paksa. Orang percaya juga masih banyak yang ikut Tuhan bukan untuk keselamatan, tetapi memakai Tuhan sebagai batu lompatan mencapai kesuksesan duniawi. Dengar saja khotbah-khotbah saat ini; isinya tentang promosi, percepatan dan terobosan duniawi bukan tentang hidup kudus, menjadi hamba atas kehendak Tuhan dan kerinduan bersama Tuhan dalam kekekalan. Daripada mengalami ketidak-nyamanan dalam perjalanan, mendingan balik ke Mesir jadi budak lagi—padahal dulunya berteriak karena beratnya perbudakan. Jelas mereka menganggap lebih berat hidup mentaati Tuhan, hidup dalam rencana dan kehendak Tuhan, dibanding hidup menuruti kehendak sendiri.

Masih adakah pembaca yang memegang prinsip walau hidup ini banyak kesusahan tapi rasanya lebih susah hidup menuruti Tuhan? Nunggu dihajar baru berubah?

Kembali ke perjalanan yang mestinya dekat dan singkat, tapi Tuhan tidak membawa mereka melewati jalan itu. Tuhan sanggup menggenapi janjiNya, tetapi umatNya tidak siap karena motivasi yang salah, harapan dan pandangan yang tidak benar tentang janji dan rencana Tuhan. Tuhan tidak melepaskan mereka untuk kemudian membiarkan mereka hidup bebas kemana saja mereka mau pergi setelah keluar dari Mesir; Ia menetapkan bahwa mereka harus ke Kanaan; dan membebaskan mereka hanya satu bagian kecil dari rencanaNya, BUKAN satu-satunya rencanaNya. Ia merindukan umat yang berkenan kepadaNya; maka diturunkan hukum-hukum dan tata cara ibadah kepada mereka—bahkan Ia sendiri ada di tengah-tengah mereka. Tetapi itu semua tidak mengubah motivasi, tujuan, harapan, pengertian mereka, sehingga semua yang keluar dari Mesir mati di padang gurun kecuali Yosua dan Kaleb.

Pengajaran yang benar, sehat dan seimbang akan membuat kita mengalami perubahan motivasi, tujuan, harapan dan pengertian dalam ikut Tuhan. Kalau sudah beres, maka Tuhan akan membawa kita melewati jalan yang paling dekat.

Dalam pelayanan, saya sangat sering melihat orang-orang yang tidak mau hadir dalam sesi ibadah, tetapi masuk ruang ibadah setelah sesi pemberitaan firman selesai. Mereka rela berdesak-desakan untuk mencari doa pribadi, terutama mencari nubuat-nubuat. Sebagai hamba Tuhan, saya sangat jengkel melihat prilaku tidak sehat seperti itu. Entah di tempat ibadah, di persekutuan, bahkan di Doa Semalaman yang kami adakan, banyak yang datang ketika sudah pagi untuk minta didoakan. Bagaimana janji Tuhan bisa dipisahkan dari kehendak Tuhan lewat firmanNya? Mungkinkah mereka mengalami penggenapan janji Tuhan kalau tidak mau belajar jalan-jalan Tuhan? Tetapi saya melihat banyak tempat dan pengurus hanya fokus kuantitas yang hadir, bukan meningkatkan kualitas yang hadir. Mereka berusaha memperlebar jalan ke sorga—yang mana jelas Firman Tuhan katakan bahwa jalan itu sempit. Hebat mereka, daripada saya bilang sesat mereka. Bahkan ada tempat ibadah yang mengundang saya melayani tetapi membatasi sesi firman hanya lima belas menit dan seterusnya sak kuate menumpangkan tangan mendoakan dan menubuatkan barisan sesat pengemis doa dan pemulung nubuat.

Sebagai pembicara saya sangat merasakan tekanan dan harapan sang pengundang untuk menyampaikan yang ringan-ringan, lucu, fokus janji-janji berkat dan terus ingatkan aneka persembahan, taburan, buah sulung kepada jemaat. Syukurnya saya dipanggil Tuhan melayani—bukan atas kehendak sendiri masuk ke dalam pelayanan; tidak seperti syair lagu waktu saya SD, “…membuang diri ke ladang Tuhan, saudara.”

Tugas kami menyampaikan kehendak Tuhan dan pengajaranNya, bukan mengiming-iming jemaat tentang hidup nyaman, janji-janji kekayaan, money game-tabur akan dilipat-gandakan.
Tuhan Yesus bukan pengganda uang.

Akhir kata, percaya Dia akan meratakan gunung yang terlalu tinggi di depan kita, dan tetap mau berubah dan diubah, agar dilihat siap dipimpin melalui jalan yang paling dekat ke tujuan.