Intimidasi

Adapun orang Filistin telah berkumpul untuk berperang melawan orang Israel. Dengan tiga ribu kereta, enam ribu orang pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki sebanyak pasir di tepi laut mereka bergerak maju dan berkemah di Mikhmas, di sebelah timur Bet-Awen. Ketika dilihat orang-orang Israel, bahwa mereka terjepit–sebab rakyat memang terdesak–maka larilah rakyat bersembunyi di gua, keluk batu, bukit batu, liang batu dan perigi; malah ada orang Ibrani yang menyeberangi arungan sungai Yordan menuju tanah Gad dan Gilead, sedang Saul masih di Gilgal dan seluruh rakyat mengikutinya dengan gemetar.

Ia menunggu tujuh hari lamanya sampai waktu yang ditentukan Samuel. Tetapi ketika Samuel tidak datang ke Gilgal, mulailah rakyat itu berserak-serak meninggalkan dia. Sebab itu Saul berkata: “Bawalah kepadaku korban bakaran dan korban keselamatan itu.” Lalu ia mempersembahkan korban bakaran. Baru saja ia habis mempersembahkan korban bakaran, maka tampaklah Samuel datang. Saul pergi menyongsongnya untuk memberi salam kepadanya. Tetapi kata Samuel: “Apa yang telah kauperbuat?” Jawab Saul: “Karena aku melihat rakyat itu berserak-serak meninggalkan aku dan engkau tidak datang pada waktu yang telah ditentukan, padahal orang Filistin telah berkumpul di Mikhmas, maka pikirku: Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan TUHAN; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran.

“Kata Samuel kepada Saul: “Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah TUHAN, Allahmu, yang diperintahkan-Nya kepadamu; sebab sedianya TUHAN mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel untuk selama-lamanya. Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap. TUHAN telah memilih seorang yang berkenan di hati-Nya dan TUHAN telah menunjuk dia menjadi raja atas umat-Nya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan TUHAN kepadamu.” — (1 Samuel 13:5-14)

Di renungan kali ini kita akan belajar tentang intimidasi yang membuat seseorang salah langkah dan memiliki konsekuensi yang berat dalam hidupnya. Apa yang ditakutkan tidak terjadi, tetapi tindakan yang diambil justru membuatnya berurusan dengan Tuhan. Jadi kita akan belajar betapa bahayanya sekalipun seseorang dalam situasi dan kondisi yang sangat mengintimidasi untuk mengambil suatu tindakan yang dirasa akan menolongnya keluar dari situasi itu. Secara sederhana dulu di pelajaran manajemen diajar untuk tidak mengambil suatu tindakan dalam kondisi SAD: Sad (sedih), Angry (marah) dan Desperate (terdesak) karena tindakan yang kita ambil bisa-bisa justru memperburuk keadaan.

Saul dalam situasi sulit, ia dikepung orang Filistin, dan rakyat mulai meninggalkan dia. Kalau kita lihat sebenarnya dukungan rakyatpun tidak akan berarti banyak baginya dalam menghadapi orang Filistin, karena mereka hanya rakyat biasa, bukan pasukan yang terlatih apalagi para prajurit yang berpengalaman. Dan yang lebih buruk dari itu adalah mereka tidak bersenjata (ayat 22). Bagaimana berperang tanpa senjata? Jadi kalau dipikir, sekalipun mereka tetap Bersama Saul, kehadiran mereka tidak akan membantu Saul memenangkan pertempuran. Perang tanpa senjata, maka rakyat hanya akan jadi skeet (sasaran Latihan tembak) bagi pasukan Filistin. Tetapi bagi Saul kehadiran mereka sangat menentukan keberanian dan semangatnya menghadapi orang Filistin.

Keadaan seperti ini sering dialami orang percaya ketika mereka merasa ditinggalkan semua orang, mereka merasa bergumul sendirian menghadapi persoalan hidup mereka. Padahal apakah kehadiran banyak orang di sekitar mereka bisa menolong mereka? Sering kali hanya melontarkan kata-kata klise: simpati, kasihan, suruh lebih bersabar, lebih beriman, bahkan yang bikin lebih parah suruh lebih banyak menabur, walau orang itu sedang menghadapi persoalan keuangan yang berat. Ini anjuran yang super sadis, walau mungkin orang itu bukan keturunan Pendekar Sadis Cheng Thian Sin, orang susah masih tetap mau diperah dan diperas.

Waduh penggemar cersil Kho Ping Hoo ya om?

Kalau kehadiran Tuhan saja tidak cukup bagi kita, maka kita belum lulus dalam iman dan gagal membangun kekariban dengan Tuhan. Manusia bisa memberi perhatian, kata-kata membangun tetapi mereka tidak bisa melepaskan dan mengeluarkan kita dari apa yang sedang membelit hidup kita. Sering semua orang bukan hanya harus dijauhkan dari kita, tetapi juga mengecewakan dan menyakiti kita agar hubungan kita dengan Tuhan terbangun dan pengharapan kita kepada Tuhan fokus, tidak melebar berharap ke Tuhan sekaligus ke manusia. Sekalipun Tuhan memakai manusia lain sebagai alatNya untuk menolong, memberkati kita, tidak berarti kita boleh berharap ke mereka.

Karena Kitab Suci berkata:

“Barangsiapa yang percaya kepada Dia, tidak akan dipermalukan.” — (Roma 10:11)

Sebaliknya;

Beginilah firman TUHAN: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! — (Yeremia 17:5)

Kesendirian memberi kita kesadaran bahwa banyak harapan kita kepada manusia akan mengecewakan. Mereka terbatas dan berubah. Ada yang ingin menolong tapi tidak memiliki kemampuan, ada yang mampu menolong tapi tidak tergerak. Ada yang berjanji menolong tetapi kemudian tidak bisa menolong karena mereka sendiri sekarang menghadapi pergumulan berat. Hanya Tuhan yang tetap bisa menolong dan tetap akan menolong kita.

Jadi kalau dalam kesendirian kita tidak menangkap maksud dan tujuannya, pasti kita hanya akan kepahitan kepada banyak orang lain yang kita rasa bisa menolong dan mesti menolong tapi tidak tergerak apalagi bergerak menolong. Mata kita tetap melihat sekitar kita mencari pertolongan, tidak kita arahkan kepada Tuhan Sang Penolong. Padahal hafal ayat yang tertulis di kitab Mazmur 121:1-3:

Nyanyian ziarah. Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi. Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap.

Dibiarkan, diacuhkan, dijauhi bahkan ditinggal keluarga, teman, saudara, kolega, partner bisnis, teman pelayanan adalah baik kalau itu memurnikan kita dan membuat kita semakin berharap kepada Tuhan. Kalau malah hasilnya kepahitan, kecewa, putus asa, ya proses diulang Kembali karena produk akhir tidak lulus QC, jadinya barang reject. Mau jadi Kristen reject?

Cia Youw! (Ayo semangat!).

Saul menjadi kuatir dan takut menghadapi orang Filistin ketika rakyat mulai meninggalkan dia. Dia tidak percaya akan janji Tuhan yang disampaikan oleh nabi Samuel. Yang luar biasa dia sudah menunggu selama tujuh hari, tetapi dia melakukan kesalahan dalam detik-detik terakhir. Banyak orang percaya janji Tuhan di awal, ragu di pertengahan, dan di akhir melupakan janji itu.

Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau. — (Mazmur 119:11)

agar kamu jangan menjadi lamban, tetapi menjadi penurut-penurut mereka yang oleh iman dan kesabaran mendapat bagian dalam apa yang dijanjikan Allah. — (Ibrani 6:12)

Saul sudah menunggu sampai hari ke-tujuh dan Samuel belum juga datang, maka ia berinisiatif melakukan persembahan korban bakaran dan korban keselamatan. Sering kita juga seperti Saul; rasanya bukan hanya sudah menunggu tetapi rasanya sudah terlalu lama menunggu, tetapi belum ada titik terang, jalan keluar, padahal “rasanya” sudah beriman dan sudah sangat lama menunggu Tuhan. Saul sampai pada batas kesabaran dan batas imannya, akhirnya ia memakai caranya sendiri untuk mencari pertolongan Tuhan, dengan mengadakan korban bakaran dan korban keselamatan. Ia sudah menunggu sampai hari ke-tujuh, tetapi ia sendiri membatasi menit dan jamnya. Saul merasa sudah menunggu sampai batasnya, dan ia memakai caranya sendiri mengatasi bahaya yang ia hadapi.

Walau kita sudah menunggu bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun pertolongan maupun janji Tuhan, tidak berarti kita bebas menentukan time limit-nya kapan. Misalnya Tuhan janji dalam setahun, maka jangan langsung membatasi 12 bulan atau maksimal mundur 1-2 bulan. Dalam berjalan dengan Tuhan itu bisa berarti 2 tahun kurang 1 hari. Yang jelas itu masih dalam kurun waktu yang tidak melewati 1 tahun walau lebih 11 bulan.

Saya pernah mendapat nubuat tentang kredit KPR saya—nubuatan yang disampaikan adalah bahwa utang saya akan lunas tahun depan. Ternyata bukan tepat tahun depan atau 12 bulan sejak nubuatan itu disampaikan, tetapi 16 bulan dari nubuatan itu, yaitu bulan April 2002 saya bisa membayar lunas kredit KPR saya, yang mestinya baru akan lunas pada tahun 2010 bila pembayaran cicilan lancar.

Daripada tetap percaya kepada janji Tuhan lebih baik mengadakan ritual-ritual agamawi yang diharapkan akan memberi solusi atau mempercepat penyelesaian masalah. Saya sering mendengar orang-orang Kristen yang sedang dalam pergumulan, bukannya bertekun dalam doa dan menunggu dengan percaya, tetapi sibuk keliling mencari nubuat peneguhan, ikut ritual pelepasan kutuk, ikut ritual percepatan—berharap bak keong diberi kaki rusa, Daihatsu S38 atau Honda Life pakai mesin turbo—dan bermacam-macam ritual untuk menghancurkan semua penghalang jawaban dan pertolongan Tuhan.

Pertanyaannya adalah kalau Tuhan menolong kita, siapakah yang bisa menghalangiNya? Kalau Tuhan mengangkat kita, adakah iblis dan seisi neraka atau suatu kuasa yang bisa merintangi? Kalau Tuhan memberkati kita, adakah yang bisa mencurinya di tengah jalan? Jadi ingat kata Cak Lontong, “mikir, mikir.” Daripada tetap berharap dan percaya, orang cenderung lari ke ritual-ritual agamawi. Karena beranggapan mereka harus melakukan bagian mereka agar Tuhan melakukan bagianNya. Padahal membantu Tuhan dan bekerja sama dengan Tuhan itu beda tebal—setebal tembok Yerikho—bukan beda tipis, lho.

Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH, Yang Mahakudus, Allah Israel: “Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.” Tetapi kamu enggan, kamu berkata: “Bukan, kami mau naik kuda dan lari cepat,” maka kamu akan lari dan lenyap. Katamu pula: “Kami mau mengendarai kuda tangkas,” maka para pengejarmu akan lebih tangkas lagi. Seribu orang akan lari melihat ancaman satu orang, terhadap ancaman lima orang kamu akan lari, sampai kamu ditinggalkan seperti tonggak isyarat di atas puncak gunung dan seperti panji-panji di atas bukit. Sebab itu TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab TUHAN adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia! — (Yesaya 30:15-17)

Ketika ia baru selesai mempersembahkan korban bakaran, Samuel datang. Tetapi kesalahan fatal sudah dilakukan oleh Saul. Kalau kita perhatikan dari kelemahan-kelemahan Saul, ia orang yang penuh alasan pembenaran diri, penakut, manipulator, dengan segala cara mempertahankan kedudukannya. Padahal Tuhan sudah sampaikan bahwa Tuhan telah memilih orang lain yang sesuai hatiNya untuk menggantikannya. Orang yang dipilih Tuhan seringkali kemudian menjelma menjadi orang yang menghalangi Tuhan dan berusaha menghalangi bahkan membunuh orang-orang pilihanNya. Senior menganiaya junior, kayak jaman ploncoan.

Pola pembenaran diri Saul menyalahkan orang lain dan kemudian memakai pikiran dan pertimbangan sendiri untuk membenarkan kesalahannya.

Jawab Saul: “Semuanya itu dibawa dari pada orang Amalek, sebab rakyat menyelamatkan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dengan maksud untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN, Allahmu; tetapi selebihnya telah kami tumpas. “Lalu berkatalah Samuel kepada Saul: “Sudahlah! Aku akan memberitahukan kepadamu apa yang difirmankan TUHAN kepadaku tadi malam.” Kata Saul kepadanya: “Katakanlah.”Sesudah itu berkatalah Samuel: “Bukankah engkau, walaupun engkau kecil pada pemandanganmu sendiri, telah menjadi kepala atas suku-suku Israel? Dan bukankah TUHAN telah mengurapi engkau menjadi raja atas Israel? TUHAN telah menyuruh engkau pergi, dengan pesan: Pergilah, tumpaslah orang-orang berdosa itu, yakni orang Amalek, berperanglah melawan mereka sampai engkau membinasakan mereka. Mengapa engkau tidak mendengarkan suara TUHAN? Mengapa engkau mengambil jarahan dan melakukan apa yang jahat di mata TUHAN?”

Lalu kata Saul kepada Samuel: “Aku memang mendengarkan suara TUHAN dan mengikuti jalan yang telah disuruh TUHAN kepadaku dan aku membawa Agag, raja orang Amalek, tetapi orang Amalek itu sendiri telah kutumpas. Tetapi rakyat mengambil dari jarahan itu kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dari yang dikhususkan untuk ditumpas itu, untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN, Allahmu, di Gilgal.”

Tetapi jawab Samuel: “Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan.

Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja.”
Berkatalah Saul kepada Samuel: “Aku telah berdosa, sebab telah kulangkahi titah TUHAN dan perkataanmu; tetapi aku takut kepada rakyat, karena itu aku mengabulkan permintaan mereka. — (1 Samuel 15:15-24)

Ada pola yang sama: menyalahkan orang lain untuk membenarkan perbuatannya yang salah. Ia selalu playing victim—karena rakyat meninggalkan dia maka dia mengadakan persembahan korban bakaran. Karena rakyat mengambil jarahan maka ia menyisakan semua kambing domba pilihan orang Amalek. Orang yang selalu menganggap orang lain sebagai penyebab dirinya gagal, terpaksa berbuat dosa, akan sangat sulit bertobat, karena ia merasa andai orang lain tidak memaksanya, maka ia tidak akan melakukan kesalahan itu. Jadi ia terpaksa berbuat salah karena tekanan orang. Lagi-lagi playing victim. Dari jawaban-jawaban Samuel kepada Saul kita tahu bahwa Tuhan tidak membenarkan alasan orang lain sebagai penyebab kita berbuat dosa. Semua adalah keputusan yang kita ambil dengan sadar dan harus dipertanggung-jawabkan. Dan sekalipun rakyat yang ikut Saul juga melakukan kesalahan tetapi kita lihat Tuhan tidak langsung berurusan dengan mereka, tetapi ia langsung berurusan dengan Saul.

Jadi tidak usah iri, bingung, menganggap Tuhan pilih kasih sewaktu kita melihat orang-orang lain yang berbuat salah, koq, Tuhan sepertinya membiarkan dan diam saja. Tetapi ketika kita salah, pendisiplanan langsung turun. Itu tanda kita orang pilihan. Biji mata sangat berbeda dengan mata kaki, karena kalau mata kemasukan debu kita akan segera berusaha membersihkannya, tidak akan menunggu hari esok. Tetapi kalau mata kaki yang kotor kita bisa bersihkan kapan saja karena tidak akan mengganggu kita.

Sekarang pertanyaannya adalah sampai kapan saya harus menunggu dan apa saja yang saya harus lakukan ketika menunggu pertolongan Tuhan?

Samuel yang muda itu menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatanpun tidak sering. — (1 Samuel 3:1)

Cerita tentang Tuhan yang hadir di tengah umatNya dengan kehadiran yang kasat mata dalam perjalanan padang gurun tinggal cerita. Tuhan yang mau berdiam di tengah umatNYa tinggal kenangan. Pada masa Samuel yang tersisa hanya seremonial dan ritual ibadahnya saja. Katanya Tuhan hadir di tengah umatNya, katanya Tuhan berdiam bersama umatNya, konon Dia Ajaib, konon Dia perkasa, konon Dia dahsyat semua tinggal cerita. Yang ada hanya kegiatan rutin agamawi berbentuk seremonial dan ritual ibadah.

Dalam perjalanan padang gurun kita lihat ada beberapa kejadian yang luar biasa, Tuhan yang bertahta di surga turun di gunung Sinai menemui umatNya dan berbicara langsung kepada mereka (Keluaran 19). Setelah mereka membangun Kemah Pertemuan, Musa tidak perlu lagi naik ke gunung untuk bertemu dengan Tuhan, karena hadirat Tuhan ada di Kemah Pertemuan yang ada di tengah-tengah umat Tuhan. Dia berbicara dari atas tutup pendamaian kepada Musa (Keluaran 25:22, Bilangan 7:89).

Di jaman Imam Eli, perlengkapan dan sistem ibadah masih seperti jaman Musa, tetapi yang hilang adalah hubungan komunikasi antara Tuhan dengan imam, berakibat kepada umat juga kehilangan hak-hak istimewa mereka sebagai umat pilihan, yang walaupun Tuhan ada di tengah mereka, tetapi mereka tidak ada hubungan karib dengan Dia. Dia ada tetapi diam membisu. Dia hadir tetapi tidak ada apapun yang Dia firmankan.

Kita tahu saat kejadian itu imam Eli sudah tua, matanya sudah kabur, dan kedua anaknya hidup dalam dosa walau mereka melayani Tuhan. Mereka memporak-porandakan hukum persembahan dan hak imam—yang mestinya setelah dipersembahkan dulu kepada Tuhan baru mereka boleh mengambil bagian mereka. Tetapi mereka memilih apa yang mereka sukai lebih dahulu, bukan mendahulukan Tuhan. Dan tidak cukup hanya sampai di sana saja mereka juga tidur dengan pelayan-pelayan wanita yang melayani di depan Kemah Pertemuan (1 Samuel 2). Mereka melayani tetapi penuh kerakusan, ketamakan, kepentingan diri sendiri dan suka memakai kekerasan. Mereka imam tetapi merusak dan melanggar hukum Tuhan, bahkan mengecilkan hak Tuhan dan memperbesar hak mereka sendiri.

Imam Eli lebih mencintai anak-anaknya daripada mencintai Tuhan. Ia hanya sebatas menegur mereka tanpa mengambil tindakan lain yang lebih tegas dan membiarkan mereka terus melayani dalam ketamakan, kerakusan, merusak hukum Tuhan dan dosa seks. Ketika terjadi peperangan, dengan yakin mereka membawa Tabut Perjanjian ke medan perang dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan beserta mereka dan akan memberi mereka kemenangan, tetapi yang terjadi adalah Ikabod. Tuhan hadir tetapi tidak mentoleransi dosa dan kenajisan. Maka Ia membiarkan mereka mengalami kekalahan telak, serta Eli, Hofni, Pinehas, dan istri Pinehas semua mati di hari yang sama.

Tuhan bisa mengambil tindakan drastis dan tegas, mengakhiri semua penyimpangan dan pemanfaatan ibadah untuk kepentingan diri sendiri maupun keluarga. Dan Tuhan mengangkat Samuel menjadi nabiNya untuk mengajar umatNya akan kehendakNya dan menyampaikan firman dan ketetapanNya kepada mereka sekalipun ayahnya dari suku Efraim, bukan suku Lewi apalagi keturunan imam besar. Ia mengembalikan hubungan dan komunikasi dengan umatNya lewat Samuel. Jadi Tuhan tidak menghendaki hubungan kita dengan Dia hanya sebatas dalam ritual dan liturgi seremonial belaka.

karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. — (Efesus 2:18)

Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya. — (Efesus 3:12)

Saya ingat pernah diajak berdoa di suatu gedung dengan high security—di pintu gerbang yang mengajak saya tinggal membuka kaca mobil dan mengarahkan kartu aksesnya ke arah scanner, palang yang menghalangi mobil untuk lewat otomatis turun supaya mobil bisa lewat. Dia tidak perlu turun dari mobil hanya mengarahkan kartu aksesnya dan penghalang langsung turun.

Terjemahan KJV memakai kata access atau akses yang diterjemahkan di Alkitab ITB sebagai jalan masuk. Di PL hanya Imam Besar yang boleh masuk ke Ruang Maha Suci itupun hanya satu tahun satu kali, tetapi di PB kita semua adalah imamat Rajani yang memiliki akses ke hadirat Tuhan. Jadi tidak ada satu konsep, petunjuk, perintah, metode yang bisa berlaku untuk semua orang dalam menunggu Tuhan. Ada yang menunggu waktu Tuhan dengan tetap melakukan aktivitas, ada yang menunggu Tuhan di padang gurun. Yang jelas ujian kesabaran adalah ujian tertinggi, dan sangat sedikit orang yang lulus. Kita bisa taat, percaya, beriman, tekun akan Firman dan janjiNya tetapi tidak banyak yang tetap menunggu sampai kairos-Nya terjadi dalam hidup mereka.

Yang banyak adalah timbul keraguan, ketidak-percayaan akan kesetiaan Tuhan akan firmanNYa kemudian kepahitan, kecewa dan membuang semua janji-janji itu karena kita menuduhNya hanya mempermainkan kita dalam iman dan penantian yang sia-sia. Padahal sebagai Bapa Surgawi, Dia lebih rindu menggenapi semua yang Dia rancang dalam hidup kita dan bagi kita, daripada kita merindukan Dia menggenapi janjiNya atas kita.

Sebab itu TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab TUHAN adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia! — (Yesaya 30:18)