Hidup yang Terus Datar
Pandemi ini sudah berlangsung selama satu tahun lebih dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Banyak kegiatan, pekerjaan, pelayanan yang tidak bisa lagi dilakukan seperti sebelumnya. Work from home di banyak di negara bukan menjadi suatu kesempatan untuk orang-orang yang dulunya super sibuk untuk memiliki family time dengan pasangan atau keluarga. Yang terjadi justru pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga meningkat. Keluarga yang sebelumnya rindu punya lebih banyak waktu untuk bersama pasangan dan keluarga, justru banyak demikian waktu di rumah tidak menciptakan quality time tapi nightmare. Bisa karena tekanan psikologis, bisa juga karena interaksi yang terlalu banyak justru menimbulkan gesekan-gesekan tajam dengan pasangan. Dulu ingin pasangan lebih banyak di rumah, sudah banyak di rumah malah bosan lihat dia di rumah terus. Terus maunya apa sih?
Yang biasanya seminggu berkali-kali naik podium nyerocos, sekarang karena tatanan baru dalam rangka mencegah dan mengurangi penyebaran dan penularan Covid-19 jadi jarang naik podium. Walaupun motivasinya murni bukan untuk money, tidak sedikit juga yang stress, karena merasa tidak berguna tanpa melayani. Hidup berasa tiada makna dan arti, tanpa ada di atas podium. Seperti luntang-lantung tanpa tujuan, karena melayani Dia didefinisikan secara demikian spesifik dan sempitnya, sebagai pelayanan yang harus kelihatan dan di depan banyak orang. Padahal menjadi ayah, ibu, suami, istri, anak yang baik juga adalah bentuk pelayanan.
Mengikatkan diri dengan podium dengan segala macam kegiatan dan kesibukan yang dianggap sebagai melayani Tuhan. Padahal itu de factonya melayani sesama, dan bila motivasinya berbeda dari selain menyenangkan Tuhan dan menyatakan kasih Tuhan kepada anak-anakNya, itu hanya pelayanan suka-suka sendiri, dan bisa targetnya keuntungan diri pribadi, jauh dari target menyiapkan anak-anakNya agar jadi umat yang layak di hadapanNya. Semua program, kegiatan, visi, misi, dari hati sendiri bukan didapat dari yang punya pekerjaan di sorga. Dia yang dilayani tidak pernah ditanyakan apa kehendakNya, bagaimana penilaian, teguranNya terhadap apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan. Semua merasa yakin sudah tahu semua kehendakNya, bahkan sangat yakin semua Dia setujui—kan untuk Dia. Anak kecil saja punya keinginan sendiri dan bisa marah ketika apa yang diberikan tidak sesuai keinginannya. Apalagi Dia yang disebutkan sebagai Yang Lanjut Usianya (Daniel 7:9)
Yang melayani dengan hati murni bisa stress, jenuh, apalagi yang melayani dengan motivasi money, bisa merasa kering seperti ikan asin dijemur di matahari terik. Sebaliknya jika berhati murni maka panas sinar matahari akan semakin mengisi solar cell rohani nya untuk menjadi semakin berisi, penuh kuasa untuk melakukan kehendak Tuhan. Seperti rajawali yang mengalami pergantian bulu, ia harus diam menunggu dan terus menatap matahari sampai seluruh bulu barunya tumbuh sempurna untuk terbang lebih tinggi dan lebih jauh. Bisakah melayani tanpa bergaul dengan Dia? Apakah dengan sudah memiliki perkataanNya yang tertulis, kita sudah pasti tahu isi hatiNya, pikiranNya dan kehendakNya sehingga tidak perlu lagi duduk di kaki Dia? Kemudian kita sibuk dengan apa yang kita anggap sebagai kehendak dan perintahNya untuk kita kerjakan? Sedemikian melekatkah kita dengan Dia sehingga kita sudah tahu pasti semua tentang Dia dan tidak perlu bertanya kepada Dia? Dia adalah Firman, jadi dengan memiliki Alkitab itu adalah pengganti Dia, dan Dia tidak diperlukan lagi? Itulah yang membuat ayat bisa disalahtafsirkan bahkan disalahgunakan yang berujung pada mengeruk keuntungan bagi diri sendiri entah bentuk materi maupun bentuk yang lain.
Tidak mustahil banyak di antara kita yang merasa hidup ini menjadi demikian datar dan monoton selama bertahun-tahun dan menjadi makin remuk redam selama pandemi. Yang lebih parah adalah yang sudah menerima nubuat-nubuat pribadi tentang promosi, pemakaian Tuhan, berkat-berkat jasmani, dll. Perahu semakin jauh dari dermaga. Sekalipun Tuhan sudah mengungkapkan janji-janji bahkan rencanaNya kepada kita secara pribadi, tidaklah berarti kita akan langsung dibawa ke tujuan yang Dia rencanakan dan janjikan. Ada masa jeda yang panjang, lama, bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun.
Jadi Sarai, isteri Abram itu, mengambil Hagar, hambanya, orang Mesir itu, –yakni ketika Abram telah sepuluh tahun tinggal di tanah Kanaan–,lalu memberikannya kepada Abram, suaminya, untuk menjadi isterinya. – (Kejadian 16:3)
Walaupun di Kejadian 12:1-2 Tuhan berjanji memberikan suatu negeri kepada Abraham, kemudian memberikan keturunan, tidak berarti ketika Abraham sudah sampai ke negeri yang dijanjikan/Kanaan, ia langsung mendapatkan keturunan. Sepuluh tahun berlalu tanpa ada perubahan, Sara tetap mandul. Abraham sudah sampai ke negeri yang dijanjikan, ia tetap harus menunggu janji tentang keturunan digenapi. Ada interval waktu yang cukup lama walaupun ia sudah mentaati Tuhan untuk meninggalkan kaum keluarganya dan berjalan dipimpin Tuhan ke negeri yang Ia janjikan. Satu pelajaran yang luar biasa—sudah taat dan sampai ke negeri Kanaan, ia harus tetap menunggu lagi. Jadi kalau kita mengerti setelah nubuatan yang diungkapkan, kita harus hidup dipimpin Tuhan untuk mencapai suatu tingkat rohani dengan melewati aneka ujian, ketaatan, kekariban pergaulan dengan Dia dan tetap memelihara iman dalam kesabaran.
Tetapi Daud selalu pulang dari pada Saul untuk menggembalakan domba ayahnya di Betlehem. – (1 Samuel 17:15)
Setelah Daud menerima nubuat, tidaklah kemudian Tuhan mengambil tahta Saul dan menyerahkannya kepada Daud, sekalipun Ia menyampaikan pesan itu lewat nabi Samuel yang dipakaiNya dengan yang luar biasa. Daud tetap harus kembali ke Betlehem mengembalakan domba-dombanya. Bussines as usual—a flat life.
Saya sangat banyak bertemu dengan orang-orang yang menceritakan tentang nubuat-nubuat yang indah yang mereka terima dari hamba-hamba Tuhan yang terkenal. Tetapi nubuat tinggal nubuat dan hidup mereka tidak mengalami perubahan dan promosi seperti yang dijanjikan. Semua masih sama seperti sebelumnya. Mereka percaya, berharap dan menunggu semua tergenapi. Yang jadi masalah ketika seseorang menerima nubuat adalah fokus pikiran dan hati mereka kepada betapa nyaman, berlimpah, terkenalnya mereka ketika nubuat-nubuat itu tergenapi.
Fokus mereka bukan kepada Tuhan tetapi kepada apa yang akan Tuhan lakukan, berikan buat mereka. Tanpa disadari Tuhan bukan lagi menjadi fokus hidup rohani mereka, tetapi diri mereka yang akan diangkat dan diberkati Tuhan yang menjadi tujuan dan harapan utama. Siang malam yang dipikirkan adalah nubuatan dan kegenapannya. Mereka pikir rencana Tuhan hanya untuk mereka pribadi, tidak ada tujuan yang lebih tinggi, lebih mulia, selain memberkati mereka. Padahal Tuhan menjawab kerinduan Abraham untuk memiliki keturunan sekaligus menjadikan keturunan Abraham berkat bagi segala bangsa. Dibalik rencana Tuhan bagi kita, ada rencanaNya yang lebih mulia yang akan dikerjakannya lewat kita bagi orang lain.
Jadi orang-orang yang menerima nubuatan pribadi harus menyadari penyingkapan rencana Tuhan membawa konsekwensi adanya proses persiapan— peremukkan, pemurnian dan pembentukan—bukan hanya agar kita menerima apa yang dijanjikan, tetapi kita bisa menjadi alat dan hamba bagi rencana Tuhan bagi orang-orang lain. Untuk bisa dipakai Tuhan sebagai alat dan hambaNya tentu saja alat harus dibentuk. Sampai saat ini alat-alat pertanian dibuat dengan api, entah dengan ditempa atau dicetak. Kalau ditempa, panas apinya tidak sampai melebur bahannya, tetapi kalau proses moulding (cetak) maka bahannya harus lebur agar bisa dituang ke dalam cetakan. Proses mana yang Tuhan pilih buat kita, terima saja, Dia tahu proses yang terbaik bagi anak-anakNya.
Setelah menerima nubuatan dan pengurapan lewat nabi Samuel, Daud menjadi sering bertemu dengan Saul. Seakan satu langkah lagi untuk menjadi raja, tetapi ia selalu pulang ke Betlehem untuk menggembalakan domba-dombanya. Suatu kerendahan hati yang terjaga dengan baik. Betapa banyak orang yang langsung berubah jadi aneh, angkuh, sombong, penuntut, tidak bisa berterima kasih, tidak bersyukur setelah menerima nubuatan. Saya melihat orang-orang yang menerima nubuat akan dipakai Tuhan ke bangsa-bangsa, tidak mau melayani di tempat kecil, terpencil, PK kecil. Ada teman pelayanan saya yang mendapat nubuat akan dipakai Tuhan ke bangsa-bangsa yang malah mati tidak lama setelah menerima nubuatan itu, yang disampaikan hamba import dari luar negeri. Saya ingat saya hadir saat pemakamannya di Keputih dan ada yang memperbincangkan nubuat itu di pemakaman. Mungkin hamba import itu keliru memilih kata-kata, ke bangsa-bangsa mestinya ke alam lain.
Tidak perlu merespon berlebihan terhadap janji-janji pribadi Tuhan. Justru harus diingat itulah saat hidup ini harus melewati banyak proses rohani agar bukan hanya layak menerima janji Tuhan, tetapi siap menjadi hamba dan alat Tuhan. Ingin menerima janji tanpa mengerti cara kerja Tuhan untuk menggenapinya, maka kita akan mengamuk, menggerutu, mempertanyakan integritas Tuhan, kepahitan bahkan memberontak, ketika proses harus kita lalui. Karena katanya dijanjikan yang enak-enak, kenyataannya hidup tetap tidak enak—bahkan sangat tidak enak dan bertolak belakang dengan yang dijanjikan. Berharap kegenapan janji tanpa mengerti rencana yang akan Tuhan kerjakan lewat kita bagi orang lain, hanya akan membuat kita memperalat Tuhan untuk mencapai semua yang kita inginkan, kita tidak peduli kepada Dia, tidak ingin karib apalagi menyenangkan Dia. Kita hanya menginginkan semua yang Dia janji berikan tapi kita tidak mengingini Dia. Jadi ingat lagu Material Girl jaman masih suka ke disco di Batu Jimbar, Sanur dulu.
Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu. Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai. Maka Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagian besar dari padamu tertolong. Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir. – (Kejadian 45:5)
Yusuf mengerti maksud Tuhan yang lebih tinggi lebih dari sekedar mengangkatnya menjadi orang penting di Mesir. Ketika saya masih di kaum muda yang dikhotbahkan tentang Yusuf selalu tentang dia bisa menolak rayuan istri Potifar, menjaga kekudusan. Intinya selalu tentang lari dari dosa seks. Koq mirip sama yang hanya mikirkan tentang selang….an saja. Seakan anak muda hanya mikirkan seks, dan dosa seks hanya dilakukan oleh anak-anak muda, sedang yang tua sudah tidak melakukan dosa seks. Kenyataanya banyak orang tua suka nonton video porno, jav dan sejenisnya. Dalam pelayanan saya puluhan tahun saya menemukan demikian banyak perselingkuhan, perjinahan di keluarga-keluarga yang konseling ke saya. Tidak pernah saya mendengar tentang Yusuf yang mengerti tentang rencana Tuhan yang Dia kerjakan lewat hidupnya. Pokok omong tentang Yusuf = lari dari dosa seks. Angel, wes, angel tuturanmu.
Untuk menjadikan apa yang Tuhan rencanakan jadi, bukan hanya merubah nasib, perjalanan hidup, ekonomi, kedudukan, karier, strata sosial kita dari unknown jadi well known, dari nobody jadi somebody .Tetapi mengubah manusia lama kita yang penuh urapan memanfaatkan dan mempekerjakan Tuhan, menjual dan menuntut Tuhan, maka manusia lama kita harus mati. Maka tidak usah heran ketika begitu banyak hal yang menyakitkan harus kita alami ketika kita dimasukkan ke dalam rencana Tuhan. Begitu banyak hal yang Dia akan ubah mulai dari motivasi, tujuan hidup, pradigma, karakter, pola hidup, bahkan value system pribadi. Untuk menjadikan kita manusia baru yang diciptakan untuk melakukan perbuatan baik yang sudah Dia persiapkan bagi kita (Efesus 2:10).
Saya akhiri renungan ini sampai di sini. Tetapi ingat walau renungan ini singkat, proses Tuhan tetap panjang. Tetapi di dalam segala hal yang memahitkan hati, percayalah Ia mengasihi kita, dan semua Dia lakukan untuk kebaikan kita. Bukan suatu hukuman, tetapi didikan yang akan membuat kita layak hidup bersamaNya dalam kekekalan.
Kita memang diciptakan dari tanah lempung, mungkin tinggal di kampung, tidak berarti kita boleh aji mumpung, hidup hanya untuk menampung semua kebaikan Tuhan. Tetapi karena kita terbuat dari tanah liat, dapur api justru membuatnya makin kuat, tidak kembali jadi lumpur, tahu rencana Tuhan makin membulatkan tekad untuk rela hati diproses, dan percaya Tuhan tidak pernah telat.
Pilihan hanya dua: mati ngenes dalam proses atau keluar sebagai pemenang melewati proses—tidak ada jalan tengah.