Hamba Tuhan atau Budak Nafsu
Dalam minggu ini saya mendengar banyak berita dari teman-teman tentang perbincangan di media sosial mengenai imbas pandemi covid-19 bagi dunia kerohanian. Ada beberapa hal yang cukup mengganggu seperti ada tempat ibadah yang menugaskan pengurus untuk mendatangi rumah jemaat satu per satu untuk “mengambil” persembahan. Dan yang terbaru adalah yang menyatakan bahwa masalah terbesar gereja di tengah pandemi adalah masalah persembahan yang menurun. Jumlah persembahan yang berkurang (karena tidak ada tidak pertemuan ibadah) dipakai sebagai tolok ukur menurunnya ketaatan dan iman jemaat. Mereka lupa waktu Musa mendirikan Tabernakel, orang Israel memberi persembahan yang melebihi kebutuhan (Keluaran 36:6) tetapi mereka tetap hidup dalam pemberontakan kepada Tuhan. Persembahan tidak selalu paralel dengan iman dan ketaatan.
Orang yang mempersembahkan banyak dengan motivasi pelipat–gandaan tidak lebih dari orang yang menganggap Tuhan membuka usaha money game di gereja. Tetapi jaman sekarang banyak orang menganut ajaran Simon si penyihir yang ingin membeli karunia Tuhan dengan uangnya (Kisah 8:18-23). Mau doa cepat dijawab? Kasih persembahan lebih banyak! Pengen hidup lebih nyaman dengan materi berlimpah? Tabur lebih banyak! Itu sebagian kecil contoh penganut ajaran Simon si Penyihir, yang walaupun sudah ikut Tuhan tetapi hati tidak lurus, penuh kejahatan dan penuh kepahitan. Simon yang bekas orang terkenal dan berpengaruh walau ini kemudian bertobat tetapi ia belum mematikan manusia lamanya yang dulunya terkenal dan berpengaruh untuk menjadi hamba Kristus. Ia tetap ingin mempertahankan status dan prestasi lamanya. Beda dengan Paulus yang menganggap semua prestasi dan kehebatan akademis masa lalunya sebagai sampah dan menjadi seorang hamba (Kisah 22:3, Galatia 1:14, Filipi 3:8).
Petrus dengan tegas mengatakan Simon si penyihir penuh kejahatan. Kalau dulu sebelum bertobat ia memakai kuasa gelap untuk menjadi terkenal, sekarang ia ingin memakai Tuhan dan kuasaNya untuk hal yang sama. Ia ingin memperhamba Tuhan, ikut Tuhan tetapi pada kenyataannya ia ingin Tuhan ikuti maunya. Hatinya penuh kepahitan, ia iri kepada urapan yang diberikan kepada para rasul dan ingin dipakai dengan urapan yang sama. Berapa banyak hamba Tuhan yang ingin menjadi seperti hamba Tuhan lain yang mereka idolakan—yang punya pelayanan besar, gedung gereja besar, jemaat besar, dan menerima persembahan besar—dan sama sekali tidak ingin seperti Kristus? Hati tidak lurus, penuh kejahatan dan kepahitan.
Pandemi ini bisa dilihat dari banyak sudut pandang. Di awal pandemi ada banyak yang sesumbar bahwa pandemi tidak akan menimpa orang percaya. Bahkan menghakimi orang percaya yang tertular covid-19 sebagai orang yang dihukum Tuhan. Tetapi ketika banyak teman satu sinodenya yang meninggal karena positif covid-19, dia langsung mingkem sampai sekarang. Ada yang melihatnya sebagai serangan kuasa gelap untuk menghalangi orang Kristen berkumpul untuk beribadah. Serangan kuasa kegelapan terhadap kesehatan, ekonomi, rohani. Ada yang menganggap ini sebagai ujian terhadap iman apakah masih tetap percaya akan perlindungan dan keluputan dari Tuhan.
Belum pernah saya dengar pandemi ini dilihat dari sudut pandang yang berbeda, dari sisi jemaat sebagai barometer kedewasaan rohani: membangun hubungan pribadi dengan Tuhan, belajar mencerna Firman Tuhan sendiri. Apakah selama ini mereka hanya merasa sukacita, punya iman yang kuat, dan merasa Tuhan dekat hanya di saat pertemuan ibadah yang hanya 2 jam itu? Makan Firman Tuhan hanya disuapi terus menerus dari khotbah mimbar? Tidak pernah bisa memakan Firman lewat perenungan dan saat teduh pribadi? Bisa kedua hal ini terjadi jelasnya bahwa mereka seperti pohon yang akarnya belum dalam sampai menemukan aliran atau sumber air. Dan hidup mereka akan tergantung musim. Musim hujan (ada uang, semua berjalan mulus, hidup nyaman) mereka akan jadi pohon yang segar, tetapi ketika musim kemarau tiba (pencobaan, padang gurun, ujian) maka mereka segera layu dan kering (hilang iman, hilang pengharapan, hilang kasih).
Dari sisi para para pelayan pandemi ini membuat lapisan tersembunyi dari motivasi, iman para pelayan dan kejahatan-kejahatan yang tersembunyi (ambisi, obsesi, ketamakan, kepentingan diri sendiri) terkelupas satu persatu. Banyak yang terang-terangan mengeluhkan minimnya persembahan yang mereka terima entah karena menurunnya pertemuan ibadah yang membuat menurunkan PK yang masuk ke kantong. Kelihatan hamba Tuhan bermental artis, pelayanan dianggal job yang harus menghasilkan uang. Padahal hamba Tuhan haruslah berharap kepada Tuhan bukan kepada banyaknya job pelayanan. Kerja untuk Tuhan, maka Tuhanlah yang mengupah. Walau secara riilnya Tuhan memakai manusia lain untuk memberkati, tetapi seorang hamba Tuhan tidak boleh mengandalkan manusia (Yeremia 17:5). Jadi banyak sedikit jemaat, jadwal pelayanan tidak boleh mempengaruhi si hamba apalagi mempersoalkan bahkan ribut mempermasalahkan persembahan yang menurun. Itu membuka motivasi pelayanan sebagai hamba uang, bukan hamba Tuhan.
“Tetapi kami punya organisasi yang harus dijaga kelangsungan hidupnya! Dan organisasi perlu dana untu bisa terus berjalan.” Itu alasan klasik yang dipakai untuk membenarkan diri. Ingat masa kelimpahan dan masa kelaparan di Mesir. Yusuf tidak menyimpan hasil bumi Mesir di masa kelimpahan untuk dirinya sendiri. Ia menyimpannya untuk semua orang. Ketika masa kelaparan ia tidak menyembunyikan gandum, tetapi membaginya kepada orang lain dan tidak ada yang mati kelaparan karena tidak mendapat gandum selama tujuh tahun kelaparan itu, tersedia cukup di masa kelaparan sampai semua normal kembali.
Sudah berapa lama mereka melayani? Sudah berapa banyak uang umat yang masuk ke organisasi—dan berapa banyak yang masuk kantung pribadi? Apakah pandemi yang baru berlangsung beberapa bulan ini sudah menguras habis uang kas organisasi? Pertanyaannya selama ini uang itu dipakai untuk siapa? Berapa banyak yang disimpan di rekening pribadi, dipakai untuk kepentingan pribadi? Berapa banyak yang dipakai murni untuk kepentingan jalannya pelayanan? Lebih banyak mana untuk bangun rumah mewah, mobil mewah, hidup mewah atau untuk dikembalikan untuk kesejahteraan yang melayani dan para jemaat yang membutuhkan?
Jadi cerita Yusuf bukan hanya cerita tentang anak muda yang bisa hidup kudus dan menolak jebakan dosa seks saja. Tetapi lebih dari itu, tentang seorang yang tidak egois, tidak mementingkan diri sendiri, tidak mencari enaknya sendiri di masa sulit. Relevan dengan kondisi sekarang di masa pandemi ini.
Ketika banyak postingan yang viral tentang keluhan kekurangan uang persembahan, saya jadi teringat waktu ikut Condensed World Mission hampir dua puluh tahun yang lalu. Salah satu materi yang disampaikan adalah pola pemakaian uang gereja. Lebih dari 80% uang gereja dinikmati para petinggi gereja. Apakah pola ini yang juga diterapkan di negara kita? Saya belum pernah mendengar ada survey tentang hal ini di negara kita. Apakah sama, lebih baik atau lebih buruk?
Saatnya orang yang mengaku sebagai Hamba Tuhan untuk memeriksa diri di hadapan Tuhan dalam beberapa hal di bawah ini:
1. Motivasi pelayanan: memperluas kerajaan Allah atau membangun kerajaan pribadi dan keluarga. Ini terlihat jelas dari arah dan tujuan pelayanan serta pola penggunaan dana organisasi. Banyak organisasi yang hanya mempekerjakan orang “full heart” ( tidak boleh berharap pada gaji/persembahan, hanya berharap pada Tuhan), tapi hanya punya sedikit fulltimer yang digaji ala kadar bahkan tidak jarang di bawah Upah Minimum, sehingga expense sangat kecil dan income semakin besar.
2. Iman yang murni atau iman bisik-bisik. Kita mengajar jemaat untuk percaya Tuhan dan mengimani Tuhan akan memelihar dan mencukupkan mereka.Sementara kalau kita kekurangan kita cerita dari mimbar ke jemaat dan berharap jemaat jadi “pelaku firman” untuk segera menabur. Jangan hanya bisa mengajar tanpa hidup dari pengajaran itu (I Tim 4:16, Matius 23:3). Saatnya sekarang untuk berhenti menjadi ahli Taurat dan orang Farisi.
3. Melepas ketamakan dan kepentingan diri sendiri: relakah bila ada fasilitas yang dinikmati selama ini yang diserahkan untuk kepentingan organisasi dan jemaat? Belum ada yang saya dengar menjual mobil, rumah, mengeluarkan depositonya untuk bisa terus menggaji fulltimer dan membagikan kepada jemaat yang membutuhkan. Yang banyak malah bikin acara-acara untuk menyedot dana dari orang percaya untuk kegiatan-kegiatan sosial. Keluarkan uang yang bertahun-tahun ditimbun itu! Kapan bisa seperti Yusuf yang tidak memikirkan kepentingan pribadi?
4. Memperbaiki gambar diri yang rusak: apakah mimbar itu yang menjadi pusat hidup kita atau Kristus? Apakah tanpa mimbar kita kehilangan jati diri kita yang sebenarnya? Kita ini terikat kepada Kristus atau kepada mimbar pelayanan? Mungkin saatnya mereposisi diri untuk mengikatkan diri pada Kristus dan melepas mimbar. Kita adalah pelayan Tuhan—jangan bermotivasi pengusaha di dalam pelayanan dan jangan pelayanan dijadikan sebagai usaha.
5.Berhentilah jadi “kristus” bagi orang lain: ingatlah pemilik domba adalah Kristus, berhentilah merasa sebagai pemilik domba yang tanpa sadar hanya akan memerah domba, mencukur bulu domba untuk mendandani hidup pribadi kita, dan seperti serigala yang menikmati daging domba. Jadilah hamba, bukan budak nafsu kita sendiri.
Banyak hal baik bisa diambil di tengah pandemi ini, lebih dari pada sekedar main tengking virus. Karena hanya doa orang benar yang besar kuasanya. Orang tamak, hanya mementingkan diri sendiri, memperkaya diri Tuhan, bukanlah orang benar.
Tuhan memberkati kita semua.