Ditipu dan Difitnah

Siang itu setelah makan siang, hp saya berdering dari seorang teman karib. Telpon saya angkat dan kalimat pertama yang keluar dari speaker hp saya adalah: “Saya mau balas dendam!” Suaranya bergetar menahan emosi. Saya diam tidak menjawab apapun dan membiarkan dia melanjutkan perkataannya. Saya juga pernah mengalami kondisi seperti ini berkali-kali, bahkan salah satu yang terberat terjadi dua puluh tahunan lalu. Jadi tidak berguna dan tidak bijak langsung mengkonfrontasi dia dengan mengingatkan ayat-ayat tentang mengampuni—“Barangsiapa tidak mengampuni saudaranya maka Tuhan juga tidak akan mengampuni dia.” Karena saya beberapa kali mengalaminya saya tahu pada saat seperti itu hati nurani kita sepertinya tidak berfungsi dan hanya berfokus untuk mengadakan perhitungan kepada orang yang telah merugikan dan memfitnah kita. Saat seperti itu kita tidak sempat memikirkan konsekuensi perbuatan yang akan kita lakukan. Yang ada hanya tekad melampiaskan dendam, yang kita anggap orang itu layak menerimanya. Masalah penjara atau mati tidak masuk dalam pertimbangan.

Teman ini melanjutkan bahwa sekarangnya waktu yang tepat untuk membalas dendam. Suaranya masih bergetar menahan amarah. Dia minta persetujuan saya, saya katakan silahkan asal tidak main fisik, sementara meminta hikmat Tuhan bagaimana cara saya masuk untuk memberi masukan kepadanya. Karena kalau langsung saya nasehati pasti tidak akan diterima. Mungkin ada pembaca yang mengatakan koq begitu nasehat hamba Tuhan? Saya meredam dia dulu sementara meminta hikmat Tuhan bagaimana menghadapinya.

Saya tahu penderitaan yang dia alami tidaklah ringan—menyangkut jumlah yang besar dan harga diri serta nama baik yang dihancurkan. Jumlah yang tidak sedikit, bukan tiga-empat ratus M. Dan kemudian orang yang menipu dia malah memfitnah dia dan merusak nama baiknya. Yang tidak pernah mengalami dirugikan beratus-ratus M dan kemudian difitnah ya pasti tidak bisa merasakan, wong membayangkan jumlah dan rasanya saja tidak bisa koq. Maka orang-orang yang melayani haruslah orang-orang yang juga sudah mengalami apa yang dialami oleh orang yang dilayani. Supaya tidak mudah bilang kasihan tanpa pernah merasakan. Apalagi langsung menghakimi karena merasa diri lebih baik, lebih kudus, lebih beriman dari yang dilayani. Akibatnya yang melayani akan menghakimi yang dilayani, bukan bersimpati apalagi berempati, sehingga terjadi victim blaming.

Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. – (Ibrani 4:15)

Firman ini dengan jelas mengajarkan orang yang melayani bukan cuma diisi otaknya dengan pendidikan teologi saja, tetapi untuk menjadi pelayan yang efektif mereka juga harus mengalami hal-hal yang berat sehingga mereka bisa melayani orang-orang yang mengalami penderitaan yang sama dengan apa yang Tuhan sudah didik mereka lebih dahulu. Bukan hanya teori dan ayat-ayat hafalan tentang pengampunan. Tetapi mempraktekkan pengampunan.

Saat ini ada situasi dan kondisi di mana memungkinkan dia untuk membuat orang yang telah menipu dan merusak nama baiknya menjadi hancur lebur. Pembicaraan kami beberapa kali terputus karena sinyal yang buruk.
Saya ingat bagaimana keinginan saya untuk membalas dendam ketika saya dipermainkan dan nama baik saya dirusak.

Waktu itu saya mengelola sebuah perusahaan, dan diluar perjanjian tertulis ada gentlemen’s agreement bahwa saya mendapat 5% dari NOP (Nett Operation Profit) per tahun. Di akhir tahun, saya meminta bagian saya, dijawab nanti saja diambil tahun kedua, toh semua data keuangan saya tahu. Pada akhir tahun kedua saya menagih, dijawab ok nanti diberikan dalam bentuk satu kendaraan baru dan sisanya diambil tunai. Masakan saya meragukan integritas orang kaya pada jumlah yang tidak ada artinya bagi dia? Saya tetap bekerja selama hampir 4 tahun, dan tetap bagian saya tidak pernah diberikan. Saya habis sabar dan terus menagih bagian saya dari NOP. Suatu pagi saya masuk kantor seperti biasa, dan pagi itu tidak biasanya ada banyak orang berseragam. Saya heran karena di data saya tidak ada satupun acara khusus hari itu yang butuh orang-orang berseragam ini. Saya masuk ruang kerja saya tidak lama ada staff yang masuk dan mengabari bahwa direktur memanggil saya ke atas. Saya kemudian naik ke atas menemui direktur saya yang juga adalah komisaris perusahaan dan istrinya juga komisaris. Di sekeliling dia juga banyak orang berseragam seperti di parkiran.

Setelah saya duduk dia langsung katakan; “Mulai hari ini kamu dipindah menjadi manager departemen … dan kunci mobil dinas tolong dikembalikan sekarang!” Saya baru mengerti mengapa begitu banyak orang berseragam pagi itu untuk melindungi dia kalau saya bertindak nekat. Saya General Manager dan diturunkan menjadi Department Manager tanpa ada peringatan atau penjelasan apapun. Sudah hampir 4 tahun dia tidak pernah memberikan hak saya dari apa yang dia janjikan sebagai direktur dan komisaris. Secara hukum posisi saya lemah karena itu hanya gentlemen’s agreement yang dia ucapkan ke saya. Dan dia sudah mengulur-ulurnya sampai hampir 4 tahun. Pagi itu juga saya langsung pulang kemudian mengundurkan diri, dan saya mendengar isu yang tersebar bahwa saya dihentikan karena perusahaan tidak ada untung dikelola saya. Dirugikan dan dihancurkan. Lengkap pol.

Padahal ketika perusahaan beroperasi managemen masih dibebani utang proyek pembangunan yang dilunasi dengan keuntungan operasional. Perusahaan langsung bisa beroperasi membiayai dirinya sejak di bulan pertama. Padahal usaha jenis itu total investasinya harus dimasukkan juga modal kerja dan biaya operasi selama minimal 3 bulan ke depan. Selama saya kelola, perusahaan juga membeli asset baru dari keuntungan, bukan dari penambahan modal para pemegang saham. Masakan orang kaya berbohong dan mau memakan hasil keringat karyawan? Berapa sih jumlah yang tidak diberikan? Apa masuk akal, wong dia orang sangat kaya? Siapa yang mau percaya perkataan seorang gajian walau dia pihak yang ditipu?

Ketika mendengar isu itu, pikiran saya hanya satu—balas dendam. Pembalasan harus lebih kejam dari perbuatan. Dan saya bisa melakukannya. Tekad saya sudah bulat dan persiapan sudah matang, paling hukumannya 12 tahun, saya keluar penjara usia masih bisa kerja. Saya berlutut berdoa; “Tuhan ijinkan saya pergi balas dendam.” Dan Roh Kudus menjawab saya; “Kamu pilih melakukan kehendakmu balas dendam atau menjaga hubungan dengan Aku?” Langsung saya lemas dan menjawab: “Saya memilih menjaga hubungan denganMu, Tuhan.” Ada periode paling gelap dalam hidup saya yang membuat saya mampu puasa selama 2 tahun dan doa 7 jam sehari. Beban pergumulan yang begitu berat dan walau saya sudah berpuasa 2 tahun, dan berdoa 7 jam sehari kelegaan tidak terjadi. Perubahan baru terjadi setelah hampir 5 tahun kemudian. Di sana saya belajar banyak tentang membangun hubungan dengan Tuhan dan hidup agar tidak jauh lagi dari Tuhan. Betapa ngerinya hidup jauh dari Tuhan. Saya pernah mengalaminya, sehingga saya memilih menjaga hubungan dengan Tuhan daripada balas dendam.

Ketika saya tidak membalas dendam tidak berarti seketika Tuhan mengganti kerugian yang saya alami dari komisi NOP yang hampir 4 tahun tidak pernah diberikan. Tidak juga saya melihat Tuhan mengadakan pembalasan kepada orang yang merugikan saya dan menyebarkan isu yang tidak benar tentang saya. Sembilan tahun kemudian barulah Tuhan mengganti apa yang hilang dari 5% bagian saya; Dia tidak menggantikannya dengan jumlah yang persis sama tetapi dihitung bunga berbunga. Dan pembalasan Tuhan baru terjadi belasan tahun kemudian atas keturunan orang itu. Yang terjadi persis seperti yang tertulis di kitab Keluaran, beberapa keturunannya dimatikan Tuhan di usia sangat muda.

“… yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa; tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya dan cucunya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat.” – (Keluaran 34:7)

Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. – (Roma 12:19)

Setelah beberapa kali percakapan terputus akhrinya dia katakan; “Saya tidak jadi balas dendam, saya takut pada Tuhan.” Haleluya! Dia pernah mengalami lumpuh total berhari-hari karena stroke dan 1/3 dari syarafnya rusak. Saya diperlihatkan foto bagian kepalanya, yang sepertiga keliatan berwarna putih. Pada saat itu dia minta ampun kepada Tuhan. Dari diagnosa dan kesimpulan dokter, dia pasti cacat seumur hidup akibat stroke itu. Tetapi mujizat terjadi dia sembuh total, jalan normal, bicara normal, tidak ada pelo sedikitpun.

Dia ingat kalau tidak dekat Tuhan dia hanya akan jadi mayat hidup, zombie dan seperti cyborg yang hidup dengan segala kabel dan selang di seluruh tubuhnya. Penderitaan, pukulan, lembah bayang-bayang maut lebih bisa mengukir takut jauh Tuhan dari pada seribu khotbah dari mimbar.

Kita tidak akan pernah merasa benar-benar butuh Tuhan dalam kesusahan yang biasa-biasa. Tetapi kita akan sangat butuh Tuhan dalam kondisi yang luar biasa. Di saat itulah kita akan sadar bahwa hubungan kita dengan Tuhan tidaklah sedekat dan sekarib yang kita kira. Hubungan kita sering sebatas hubungan formal dalam bentuk seremonial dan ritual, bukan hubungan pribadi. Keadaan yang baik-baik saja membuat kita merasa sudah dekat dengan Tuhan. Tetapi keadaan yang luar biasa membuat kita bisa melihat dan mengukur dengan jelas tingkat kekariban kita denganNya. Kita akan sadar hubungan kita tidak pada tingkat yang seharusnya. Dan kita masih perlu lebih mendekat lagi.

Ditipu, seperti kasus saya, berbicara tentang apa yang menjadi hak kita dirampas atau tidak diberikan. Sedang difitnah berbicara tentang eksistensi dan aktualisasi diri yang kita bangun dan jaga dihancurkan. Ditipu membuat apa yang menjadi hak yang seharusnya jadi milik kita tidak jadi kita terima dan miliki. Difitnah membuat perjalanan kita ke depan untuk meraih apa yang ingin kita capai menjadi sulit bahkan menjadi mustahil. Karena orang sudah memiliki kesan dan persepsi buruk terhadap kita sesuai isi fitnah yang tersebar itu.
Kenapa dalam proses peremukan dan pembentukan kita perlu mengalami ditipu, dimanfaatkan, difitnah, dituduh dan dihancurkan reputasi dan nama baik kita?

Kita terpola untuk mengejar dan meraih segala sesuai dengan kekuatan, cara, kemampuan, pengalaman, jalan kita sendiri. Kalaupun kita katakan bersama Tuhan kita lakukan perkara besar, Tuhan tidak lebih hanya dimintai persetujuan dan restu dari apa yang kita obsesi dan cita-citakan. Jalan dan caranya kita hanya minta penyertaan Tuhan dan kita sudah punya konsep sendiri untuk mencapainya. Dengan ditipu seperti ini kita akan menyerahkan yang seharusnya jadi hak kita dan menyerahkannya kepada keadilan dan pembelaan Tuhan. Dia sebagai Tuan yang baik akan memberikan kepada kita dengan adil. Pembentukan karakter untuk memakai cara/jalan Tuhan untuk mencapai sesuatu terjadi lewat kesadaran dan pengalaman bahwa kekuatan, pendidikan, prestasi kita sering berakhir dengan kegagalan bahkan malapetaka. Kita belajar menyerahkan hak kita, kita bisa melihat buahnya. Tidak lagi menuntut Tuhan, main klaim janji-janji Tuhan, tidak lagi merasa diri sudah benar dan di lain pihak kita menuduh Tuhan lambat memberi, lambat bertindak, lambat menjawab. Ada hidup yang berserah kepada Tuhan.

Kalau kita punya panggilan melayani, maka ditipu adalah proses agar kita menyerahkan hak kita ke tangan Tuhan sehingga kelak kita tidak penuh tuntutan dalam melayani, menjadi tamak dan jadi hamba uang. Aku sudah melayani sekian tahun, targetku jemaat harus berjumlah sekian, persembahan perbulan sekian, rumah harus lengkap dengan …, mobil minimal merk … . Kita menyerahkan semua dan berharap upah dari Tuhan bukan dari orang yang kita layani. Berapapun yang Tuhan percayakan dan upah yang kita terima, mudah mengucap bersyukur.

Difitnah dan dihancurkan nama baik membuat kita mengalami kematian manusia lama untuk siap menjadi manusia baru yang berbeda. Dengan penghalang yang demikian besar lewat fitnah dan nama baik yang dirusak, Tuhan memiliki waktu lebih banyak untuk mengerjakan dan mempersiapkan kita bagi apa yang Dia akan percayakan dan bebankan kepada kita. Sesuatu yang besar membutuhkan persiapan yang terperinci dan butuh waktu yang tidak sedikit. Ketika semua jalan tertutup makan akan lebih mudah bagi Dia menuntun kita di jalan yang Dia kehendaki. Bila terlalu banyak jalan terbuka, kita cenderung memilih jalan kita sendiri.

Seperti dalam pentas drama, sebelum seorang aktor keluar dari balik layar dan tampil di pentas, penata kostum, makeup artist harus memeriksa ulang segala sesuatunya agar tidak ada yang kurang ketika ia tampil. Tidak pernah kostum, dandanan, make-up, dan properti yang dipakai diperbaiki di depan penonton. Si aktor harus keluar tepat waktu, sesuai naskah—kalau ia keluar lebih cepat akan merusak alur cerita. Jadi sabarlah, setiap orang akan keluar dari balik layar pada waktunya. (2 Koristus 4:6).

Ketika reputasi dan nama baik kita dirusak, kita sangat marah dan sakit hati. Kita bahkan siap dan rela berbuat apa saja asal nama baik kita tidak dirusak. Karena kita sangat memperhatikan apa pendapat orang akan kita. Di waktu yang bersamaan kita kurang peduli apa pandangan Tuhan terhadap kita dan kita terlalu sering tidak rela melakukan kehendak Tuhan.

Lewat fitnah kita diajari untuk mementingkan apa penilaian dan pandangan Tuhan terhadap kita. Kita hanya berfokus menyenangkan Tuhan bukan menjilat manusia. Sehingga kita tidak menjadikan pelayanan sebagai alat mencapai kehendak pribadi kita, tetapi tetap sebagai cara Tuhan menyatakan diri, melawat, mengajar umatNya.
Untuk membawa kita ke puncak-puncak kesuksesan hidup sangat mudah bagi Dia. Tetapi untuk kita sanggup bertahan lama di sana dbutuhkan kualitas karakter yang berbeda dari yang biasa. Karena tanpa karakter luar biasa, promosi, pemakaian Tuhan hanya akan menjadi awal kebinasaan. Tanpa dibekali karakter yang benar dan kuat, kita tidak akan bertahan lama di puncak tapi segera jatuh ke jurang.

Terima kasih buat tipu dan fitnah yang terjadi. We will be more well prepared for the future assignments.

Be more concerned with your character than with your reputation, your character is what you are, while your reputation is merely what others think you are. – Dale Carnegie