Corona dan Janda Sarfat

Sudah lebih dari satu tahun pandemi korona melanda demikian banyak negara. Dan dampak secara ekonominya membuat banyak negera mengalami resesi, bahkan di negara-negara maju. Walau vaksin sudah ditemukan, tetapi virus yang terus bermutasi akan menyulitkan pengendalian penyakit ini dan menurunkan efektivitas vaksin yang dibuat dari virus lama. Kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Saya ingat ketika penyakit ini mulai merebak di negara kita, ada aktivis Doa Semalaman kami yang menghubungi saya menanyakan tentang penyakit ini. Dia ingat di salah satu sesi Doa Semalaman, Roh Kudus sampaikan akan ada penyakit baru (bisa dibaca di Penglihatan dan Pesan Profetik). Ketika kami sedang berbicara Roh Kudus katakan: “The worst is yet to come.” Kalimat ini bisa memiliki dua arti, pertama penyebaran akan semakin meluas, penyakit ini akan semakin dahsyat daya rusaknya terhadap kesehatan manusia. Atau ada petaka baru yang lebih mengerikan yang akan terjadi. Di dalam roh saya menangkap akan ada penyakit infeksi baru di organ di dada yang lebih mematikan.

Di awal tahun ini juga apa yang Tuhan sampaikan di Doa Semalaman tentang naiknya air laut di Banjarmasin, Kalimantan Selatan terjadi (bisa dibaca di Penglihatan-Penglihatan), ada tertulis pulau yang tidak ada gunung berapi, di bagian selatannya. Banyak nubuat dan penglihatan yang tidak bisa ditulis secara terang-terangan karena akan menimbulkan keresahan sosial dan kemungkinan kena pasal UU ITE. Dan ada nubuat-nubuat yang tidak untuk dipublikasikan.

Sekitar pertengahan tahun lalu, ketika sedang berdoa, Roh Kudus katakan: “Melalui korona ini Aku menguji umatKu, apakah mereka tetap egois hanya memikirkan diri sendiri atau bisa berbagi dengan orang lain.” Ketika terjadi perlambatan ekonomi dan resesi, maka orang akan cendrung lebih berhemat dan memikirkan bagaimana menyelamatkan aset pribadi, kekayaan sendiri, keluarga dan diri sendiri. Perusahaan-perusahaan yang sudah puluhan tahun menumpuk keuntungan banyak segera menutup usaha—bukan karena sudah tidak punya uang kas atau asset, tetapi tutup agar aset dan keuntungan yang sudah ditumpuk sekian puluh tahun tidak berkurang. Karena kalau tetap beroperasi dalam kondisi pandemi, expense bisa lebih besar dari income, yang berarti cashflow akan terganggu dan berujung mengambil dari aset untuk menutupinya. Karena aset tidak boleh berkurang maka harus segera menghentikan kegiatan, tanpa memikirkan nasib orang lain yang sudah membantu mereka mengumpulkan semua kekayaan. Prinsipnya selamet dewe, Me first, others I don’t care. Saya jadi ingat salah satu iklan produk mie di TV yang gagal di pasaran yang ada kalimat: “Yang lain, tidak tahu saya!”

Perusahaan ramai-ramai tutup, tetapi hal yang sebaliknya terjadi di rumah ibadah, banyak gereja tetap ngotot mengadakan ibadah, dengan gagah perkasa mengatakan bahwa kita tidak boleh takut terhadap Covid-19. Dan kemudian kita baca di media massa banyak pendeta meninggal kena Covid-19 dan adanya cluster-cluster yang muncul dari kegiatan keagamaan. Karena pembatasan kapasitas dan banyak jemaat kuatir tertular, maka jumlah kehadiran jemaat jadi berkurang dalam ibadah onsite, maka beralih ke ibadah online baik lewat Zoom, YouTube, dll, agar iman jemaat tetap terpelihara. Tetapi anehnya selama ibadah online kita terus menerus melihat running text berisi himbauan untuk memberi persembahan dan nomer rekening untuk mentransfer uang. Kalau dibandingkan dengan ayat yang dibaca, satu ayat di baca, running text nomer rekening berpuluh kali muncul. Ini sangat mengganggu konsentrasi pendengar, dan layak dipertanyakan maksud acara online itu semata-mata untuk memelihara iman jemaat atau hanya sebagai sarana mengingatkan jemaat akan kewajiban memberi uang. Kalau untuk memelihara iman jemaat mengapa perlu puluhan kali memunculkan running text, tidakkah cukup 1-2 kali di bagian akhir acara? Bukankan Firman Tuhan sendiri mengajarkan dengan tegas bahwa:

Beginilah firman TUHAN: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! – (Yeremia 17:5)

Ke mana harapan kita sebagai orang yang melayani Tuhan; ke orang yang dilayani atau kepada Tuhan? Tuhan mengatakan kita harus berdoa dengan tekun, tidak pernah dikatakan kita harus meminta kepada jemaat dengan tekun lewat puluhan running text. Kita mengajar orang agar percaya dan menaruh harap kepada Tuhan bahwa Dia akan mengadakan semua kebutuhan kita, sementara kita tidak percaya kepadaNya, dan berharap kepada jemaat, yang kelihatan secara nyata dengan tekun meminta-minta kepada jemaat. Sementara banyak dari jemaat sendiri sedang dalam masalah ekonomi, bukannya membantu, malah bertekun nagih. Bukan simpati dan empati malah galak gati (galak sekali). Pemerintah saja di masa pandemi melonggarkan pajak, ini malah terus menerus, tiada henti mengingatkan dan menagih. WTF!

Eeeiiittttt, pak Asen koq maki-maki?

Jangan zuudzon (negative thinking) duluan, harus husnuzon (positive thinking), yang saya maksud WTF bukan seperti yang biasa, tapi who’s that funny idiot, gitu lho.

Hmmm. Ooooo, ok, teruskan om.

Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. – (Roma 14:7)

Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. – (2 Timotius 3:2a)

Dari dua ayat di atas jelas sekali ketika kita menjadi murid Tuhan kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri. Kita hidup untuk Tuhan dan melakukan kehendak Tuhan, melayani serta mejadi berkat buat sesama. Tetapi manusia jaman akhir akan mencintai dirinya sendiri, dan menjadi hamba uang. Dan kita tahu Yesus mengatakan kita tidak bisa menjadi hamba Tuhan sekaligus menjadi hamba mammon. Tetapi kita bisa berlagak dan mengaku-ngaku sebagai hamba Tuhan walau mungkin motivasi terdalam adalah hamba uang.

Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab. – (Ibrani 4:13)

Kembali ke apa yang Roh Kudus katakan bahwa Ia menguji umatNya apakah masih tetap egois dan memikirkan diri sendiri atau malah bisa berbagi. Di masa seperti ini kita cenderung mengambil tindakan penghematan; mengurangi pengeluaran agar bisa survive dan tetap bisa menyambung hidup dengan segala kebutuhan dan biaya yang diperlukan. Kekuatiran menghadapi keadaan yang lebih buruk, kekuatiran akan kekurangan adalah manusiawi, tetapi anak-anak Tuhan bukan semata-mata manusia jasmani, mereka adalah manusia rohani dengan akal budi yang sudah diperbaharui oleh Firman dan Roh.

Singa-singa muda merana kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatupun yang baik. – (Mazmur 34:10)

Singa-singa muda dengan kekuatan mereka bisa menyingkirkan pesaing mereka dalam memperebutkan makanan, dan dengan kekuatannya mudah mengejar dan menaklukkan mangsanya. Masalahnya walau kuat, perkasa, tetapi tidak ada mangsa mau makan apa? Makan rumput, lumpur atau batu? Tetapi walau tidak kuat, tidak perkasa, tetapi hidangan diantar di depan mata? Pasti kenyang. Sama dengan orang percaya yang punya kemampuan, pendidikan, pengalaman, segala sumber daya dan dana, kalau tidak diberkati Tuhan bisa dapat apa? Semua kegiatan jadi seperti mengejar angin, makan angin dan jadi masuk angin, dimulai dan diakhiri dengan cakap angin tentang kesuksesan, kekayaan.

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. – (Amsal 11:24)

Kita sudah tahu tentang pengajaran beri maka kamu akan diberi, bahkan sudah tuwuk dengan pengajaran tabur tuai, tetapi pengertian kita menjadi begitu sempit bahkan cendrung sesat tentang pengajaran ini. Kita memberi hanya dengan satu tujuan: pelipat gandaan, bukan sebagai perbuatan kasih, tetapi tindakan gambling, dengan dorongan ketamakan tak terbatas, seperti orang main money game. Sasaran pemberian kitapun hanya kepada para pemuka agama, rumah ibadah, dengan satu harapan: dikembalikan Tuhan berlipat-lipat. Sementara untuk orang lain yang sebenarnya lebih butuh, kita akan beralasan mengutamakan Tuhan, dan untuk orang lain, kita tidak tergerak. Bisa saja karena kita memiliki persepsi harus nabur di tanah yang subur dan merekalah tanah yang subur. Luar biasa! Dari mana doktrin seperti ini? Kalau kita mau berpikir sejenak, klaim diri sebagai tanah yang subur, jadi mereka itu tanah bukan manusia. Tanah yang masih jadi tanah, belum dibentuk oleh Tuhan dan pasti belum dihembus dan dihidupkan dengan Roh Kudus. Pantaslah kalau kemudian mereka tidak menampilkan gambar Allah dalam hidup dan pelayanan mereka, serta tidak dipimpin Roh Kudus dalam hidup mereka.

Atos pol pak tuturanmu!

Ono ta palu bahane gudir?

Maka datanglah firman TUHAN kepada Elia: “Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.”
Sesudah itu ia bersiap, lalu pergi ke Sarfat. Setelah ia sampai ke pintu gerbang kota itu, tampaklah di sana seorang janda sedang mengumpul kan kayu api. Ia berseru kepada perempuan itu, katanya: “Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi, supaya aku minum.”
Ketika perempuan itu pergi mengambilnya, ia berseru lagi: “Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti.” Perempuan itu menjawab: “Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati.”

Tetapi Elia berkata kepadanya: “Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi.”
Lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang dikatakan Elia; maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu mendapat makan beberapa waktu lamanya.

Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia. – (1 Raja-raja 17:8-16)

Saya yakin sebagian besar orang Kristen sudah sangat hafal kisah ini, dan sudah berkali-kali mendengar renungan kotbah dari ayat ini. Elia harus berjalan dari sungai Kerit ke Sarfat yang berjarak sekitar 135km. Coba kita bayangkan pemandangan kering kerontang sepanjang perjalanan Elia menuju Sarfat. Apakah dia salah dengar, ini tempat mengalami kekeringan dan kelaparan juga. Masakan diperintahkan pindah dari tempat kering ke tempat kering dan kelaparan? Mestinya perintah dan pimpinan Tuhan membawa kita ke tempat yang subur dan berlimpah. Itu pengajaran sampah yang suka kita dengarkan. Elia sampai di Sarfat dan hanya mendapatkan sepotong roti bundar kecil, bukan roti bundar besar atau pabrik roti. Hanya sepotong roti bundar kecil, bisa dibayangkan ukurannya dari segenggam tepung yang dibagi menjadi tiga bagian, untuk Elia, si janda dan anaknya.

Elia tidak memerintahkan janda Sarfat untuk mengutamakan dirinya dengan memberikan potongan yang lebih besar, dengan iming-iming berikan yang terbaik untuk hamba Tuhan agar mujizat terjadi. Tidak juga mengajarkan tabur lebih banyak agar menuai lebih banyak. Ia hanya meminta sepotong roti bundar kecil! Jalan kaki di musim kering dan kelaparan sejauh 135km hanya untuk sepotong roti bundar kecil! Mestinya dapat pabrik roti dong, supaya sepadan. Melayani sekian tahun harus punya gedung kapasitas sekian, jumlah jemaat harus sekian, mobil harus merk anu, rumah harus mewah dengan fasilitas wah, dll, agar mempermuliakan Tuhan. Begitu ya?

Banyak hal yang dianggap visi sebenarnya tidak lebih dari ambisi dan obsesi pribadi belaka, tetapi dibungkus seperti kado rohani, karena semuanya bukan datang dari Tuhan tetapi dari motivasi dan hati manusia. Akibatnya tiap ibadah terus mengingatkan aneka persembahan seperti setengah memaksa dan mengancam. Target jumlah jemaat sampai mentransmigrasikan jemaat tempat ibadah lain bukan dari orang yang belum percaya. Prinsip sukses, kaya, melimpah, hidup mewah supaya mempermuliakan Tuhan, ujung-ujungnya situ dan keluarga situ yang kaya, yang ikut situ, situ peras semua. Memangnya kami sapi atau sejenis jeruk valencia, jeruk baby dari Dau untuk diperas? Atau jeruk Lumajang, jeruk Pacitan, jeruk So’e, jeruk Kisar?

Pak Asen, Dau itu apa? Desa dekat Selecta, Malang pusat perkebunan jeruk. Kalau jeruk Kisar? Jeruk dari pulau Kisar, kalau pelayanan di pulau Timor pasti makan jeruk Kisar dan Jeruk So’e, dan mesti makan ribs di Baun yang tidak kalah enaknya dari yang di Hurricane’s Grill Sydney.

Sana ingin hidup mewah, sini yang hidup susah disuruh dukung situ supaya bisa hidup dengan lifestyle jetset impianmu. Situ sehat? Sudah lama ndak minum obat ya? Ayo, obatnya diminum sekarang.

Janda Sarfat ini dalam kondisi mendekati kematian karena kelaparan. Dengan tepung dan minyak yang ada, dia dan anaknya akan bertahan untuk beberapa waktu. Tetapi dengan berbagi dengan Elia tentu saja saat kematiannya akan semakin cepat karena asupan kalorinya menjadi lebih sedikit. Di masa yang sulit semua orang akan berhemat agar persediaan bisa dipakai lebih lama. Janda Sarfat ini pasti melakukan hal yang sama, tetapi bagaimanapun ia berhemat, masa kelaparan berlangsung lama sehingga ia tiba pada suatu titik di mana persediaan makanannya tersisa hanya untuk satu kali makan saja.

Penghasilan menurun dan berkurang sedikit saja orang sudah kuatir, takut dan langsung mengambil tindakan drastis untuk berhemat. Dan fokus menyelamatkan diri sendiri. Tetapi janda ini justru mau berbagi dengan Elia yang datang pada saat yang tersisa hanya makanan terakhirnya. Andai ia masih punya makanan berlimpah, tentu lebih mudah berbagi, kalau tidak punya mentalitas MPK—medit, pelit, kikir. Ini justru di saat ia hanya punya makanan terakhir, ia harus berbagi. Yang luar biasa sekalipun janda ini dari daerah antara Sidon dan Tirus, bukan orang Israel yang beriman kepada Tuhannya Abraham, Ishak dan Yakub, bukan bangsa pilihan, tetapi ia dipilih Tuhan dan beriman kepada apa yang disampaikan Elia dan ia mentaatinya. Dia membagikan makanan terakhirnya kepada nabi Tuhan. Dan dia dan anaknya terpelihara dari kelaparan dan kematian. Tuhan sanggup memberi kelimpahan dalam kekeringan dan kelaparan. Tetapi ia juga sanggup melenyapkan segala kelimpahan menjadi kelaparan dan kematian.

Orang yang takut berbagi dalam masa-masa yang buruk, justru tidak akan mengalami pemeliharaan dan mujizat Tuhan. Tuhan tidak menyukai orang egois, yang hanya memikirkan kepentingan dan kemakmuran dirinya sendiri. Tidak mau berbagi bisa karena memang ada penyakit MPK, atau karena takut tidak cukup, jadi miskin dan melarat. Orang-orang seperti itu adalah orang yang tidak percaya akan pemeliharaan Tuhan. Tetapi orang yang percaya Tuhan akan berbagi dengan orang yang memang butuh.

Sebelum banyak turun hujan, seminggu sekali istri saya memasak dan mengajak anak-anak tetangga di sekitar rumah kami dan gang sebelah untuk makan bersama. Dan banyak juga diantara mereka yang minta untuk dibawa pulang untuk saudara atau orang tua mereka. Kami lakukan setiap minggu sekali. Setiap kali butuh beras beberapa kilo, sayur dan daging beberapa kilo. Kami lakukan berbulan-bulan dan sekarang karena banyak turun hujan belum bisa dilakukan kembali. Pelayanan desa jalan terus sampai sekarang. Tanpa ada pelayanan mimbar, uang dari mana? Dari Tuhan. Apa yang ada kami keluarkan untuk membiayai pelayanan, dan sampai sekarang tidak pernah kekurangan.

Menjelang Natal tahun kemarin saya menerima telpon dari seseorang. Ketika saya angkat dia langsung tanpa basa basi menyampaikan; “Asen, saya cuma mau bilang saya mau belikan mobil pick up baru (maksudnya double cabin).” Saya katakan tidak usah yang baru karena yang baru setengah milyaran. Dia jawab; “Yang baru saja, tidak apa-apa setengah milyar, dari pada bekas, nanti rusak-rusak, repot perbaiki.” Dia tetap ngotot mau belikan yang baru. Saya katakan saya tidak perlu yang baru gres, nanti saya malah eman-eman memakainya. Nanti saya cari yang harga 250-300 juta saja. Akhirnya dia setuju, dan double cabinnya sudah saya pakai sekarang, kilometernya baru 32 ribu, asli. Tuhan tetap sanggup memelihara anak-anakNya di masa pandemi, masa hemat, irit, pelambatan ekonomi dan dalam masa sukar apapun.

Tentang mobil double cabin itu ada hal ajaib—karena pandemi saya tidak bisa keliling pelayanan, sedangkan di beberapa kota saya ada titip barang dan ada sewa kamar yang tetap dibayar jutaan tiap bulannya. Saya mau membawa barang-barang saya pulang supaya berhenti tiap bulan harus bayar jutaan. Juga pelayanan kami tidak bisa lagi memakai mobil Kijang station karena pelatihan usaha kuliner membawa meja, dan alat dan bahan praktek masak yang butuh tempat banyak. Saya berdoa kepada Tuhan agar saya dapat menemukan mobil double cabin dengan harga murah. Suatu saat waktu saya berdoa Roh Kudus katakan; “Tidak usah beli, minta padaKu.” Sejak itu saya mengubah doa saya dan meminta mobil itu langsung kepada Tuhan, tidak lagi minta Tuhan tunjukkan mobil yang bagus kondisinya dan murah. Dan sebelum Natal ada anak Tuhan yang menelpon saya dan membelikan double cabin itu. Ajaibnya langsung mengatakan hendak membelikan double cabin, persis yang kami butuhkan.

Masa pandemi ini juga adalah masa ujian, Tuhan rindu menemukan anak-anakNya yang tidak takut kekurangan, meninggalkan sifat egois dan bisa berbagi dengan orang-orang yang butuh. Saya bersyukur di tengah pandemi banyak aktivis Doa Semalaman yang tetap bisa berbagi kepada yang membutuhkan, entah nasi bungkus, sembako, obat-obatan, kepada yang butuh. Bahkan yang sedang dikerjakan saat ini adalah pemasangan solar cell untuk gereja-gereja di pedalaman Kalimantan Timur.

Adakah kita termasuk orang yang tidak takut, keluar dari hidup ego sentris dan bisa berbagi?