Benih yang Mati

Sejak pandemi covid19 saya menerima banyak telpon yang menanyakan kapan pandemi ini akan berlalu. Karena banyak yang mulai mengalami akibat tidak langsung dari pandemi ini. Baik dalam pelayanan, usaha, pekerjaan, maupun penghasilan. Jadi infeksinya bukan ke fisik kesehatan tetapi infeksi secara ekonomi dan rohani.
<blockquote>Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. (Yohanes 12:24)</blockquote>
Ketika saya sedang menyemai beberapa macam bibit sayuran, saya diingatkan ayat ini. Benih saya tebar di persemaian, kemudian saya tutupi dengan lapisan tipis pupuk kandang dan disiram air agar lembab. Hanya perlu menunggu beberapa hari sebelum benih tumbuh dan siap dipindahkan ke polibag. Ada beberapa hal yang saya diajarkan lewat proses ini. Bayangkan bibit ini adalah seorang percaya, yang tiba-tiba dimasukkan ke dalam situasi hidup yang gelap gulita, disertai tekanan. Ia pasti stress berat, takut, dan menjerit minta tolong agar segera dikeluarkan menuju terang dan kenyamanan. Kalau boleh memilih, lebih baik ia tetap menjadi sebutir benih daripada mengalami proses kematian untuk bertumbuh—walau benih bila disimpan terlalu lama pada saat ditanam tidak bisa hidup karena sudah menjadi benih yang mati. Prinsip mereka lebih baik mati dalam kenyamanan daripada bertumbuh lewat penderitaan walau hanya sekejap.
Ketika benih disemai, ia tidak ditanam dalam-dalam, bahkan sedalam 50cm pun tidak. Karena ia tidak mungkin akan tumbuh dengan himpitan dan tekanan tanah yang demikian besar. Ia hanya ditutupi lapisan tipis saja. Jadi ketika menghadapi keadaan yang sepertinya tanpa titik terang, semua jalan ke depan hanya kegelapan, percayalah Tuhan tahu seberapa kuat kita bisa menanggungnya. Ia menjamin pencobaan tidak akan melampaui kekuatan kita. Tapi banyak yang mengatakan pencobaan mereka itu sangat berat. Ingatlah benih tidak disemai di kedalaman 1 meter, sehingga ia tidak mungkin tumbuh. Tetapi kenapa pencobaan terlalu berat? Itu karena manusia lama kita ingin semua serba mudah dan nyaman, serta kita tidak mendapatkan pengajaran yang benar sehingga persepsi kita tentang kehidupan Kristen haruslah selalu berjalan mulus dengan berlimpah fulus, karena akal budi kita belum diperbaharui sehingga masih penuh akal bulus. Pergumulan bukanlah musuh tetapi tempat persemaian benih agar tumbuh.
Terus bagaimana caranya keluar dari kegelapan dan himpitan? <strong>BERTUMBUH</strong>
Benih itu harus bertumbuh untuk keluar dari himpitan tanah. Anak Tuhan ketika masanya tiba untuk bertumbuh, malah keliling cari-cari hamba Tuhan untuk minta didoakan agar segera ditolong. Mereka menelpon sana sini <em>share</em> keluh kesah mereka dan minta bantuan doa. Cari-cari gereja, persekutuan yang “lebih diurapi” agar segera dilepaskan, diangkat dan diberkati lebih dari sebelumnya. Tidak ada petumbuhan dengan tindakan seperti ini walau kelihatan menjadi lebih rajin hadir ibadah, lebih mencari Tuhan, yang kenyataannya bukan mencari Tuhan, hanya mencari jawaban Tuhan!
Ketika benih itu bertumbuh, ada bagian yang akan keluar dari tanah dan ada bagian yang justru masuk semakin dalam ke tanah. Waktu ia bertumbuh, ia bisa menang dari pergumulan, himpitan hidup karena imannya menjadi lebih kuat menghadapi tantangan. Bukan iman <em>bless me always</em>, tetapi iman yang membuatnya sanggup tetap maju ditengah halangan dan rintangan. <em>Stand your ground then move forward.</em>
Bibit yang tumbuh ada bagian yang justru makin masuk ke dalam tanah. Kalau sebelumnya doa menjadi beban, baca Firman jadi menakutkan, dengar pengajaran memuakkan, dengar teguran marah, disuruh taat malah sakit hati, sekarang justru doa jadi <em>life style</em>, baca Firman Tuhan jadi kesukaan, taat menjadi jalan hidup, rindu mendapat teguran agar makin menyenangkan Tuhan. Inilah hidup yang berbuah banyak.
Pilih mati kemudian bertumbuh atau tidak bertumbuh kemudian mati?