Aku Adalah Aku
Lalu Musa berkata kepada Allah: “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? –apakah yang harus kujawab kepada mereka?” Firman Allah kepada Musa: “AKU ADALAH AKU.” Lagi firman-Nya: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.” – (Keluaran 3:13-14)
Sejak Sekolah Dasar saya rajin ke sekolah minggu walau jaraknya 7 kilometer dari rumah; masa remaja aktif pelayanan sebagai anggota koor remaja dan koor umum; waktu kuliah rajin ke gereja bahkan pada hari minggu bisa hadir di tiga sesi kebaktian. Minggu pagi dari Nusa Dua naik motor ke jalan Teuku Umar untuk ibadah di GPT Baithani, selesai ibadah makan chinese food di dekat simpang lima Teuku Umar, menu pasti fuyung hai dan bakmie. Jaman itu seporsi Rp 600. Selesai makan balik ke Nusa Dua, cuci pakaian dan istirahat. Jam 15.00 balik lagi ke Teuku Umar untuk ikut ibadah sesi dua jam 16.00. Selesai ibadah otw ke gereja Oikumene di kompleks Sudirman untuk ibadah jam 18.00. Sebelum balik ke Nusa Dua cari makan malam di Denpasar. Senin sampai Jumat lanjut kuliah.
Sepertinya ok banget track record kekristenan saya kalau dilihat sepintas sekedar dari aktivitas ibadah. Tapi itu hanya terbatas kulit luar saja dan tidak membuat saya mengenal Tuhan secara pribadi. Mengalami pertolongan Tuhan ya, bahkan banyak sekali. Dibela Tuhan, ya; dipelihara Tuhan dengan cara yang ajaib, ya. Tetapi pengenalan yang lebih dalam itu adalah masalah lain.
Saya mengalami Dia sebagai penyembuh. Waktu SMA saya kecelakaan menabrak mobil dengan kecepatan tinggi dan itu belum jaman orang harus pakai helm. Walau tidak ada cacat fisik tetapi setelah itu salah satu mata saya akan menutup dengan sendirinya kalau kelelahan. Ketika PKL di salah satu hotel di kawasan Nusa Dua, keluhannya makin menjadi. Saya ke klinik hotel, ketika diperiksa, dokternya bertanya apa pernah kecelakaan. Saya jawab ya, dia katakan ini syarafnya kena, harus ke dokter syaraf. Wah, ngeri betul saya mendengar kalau harus berurusan dengan dokter syaraf, terbayang kalau dibedah tengkorak kepala saya. Cukup lama saya menderita keluhan mata ini, tapi saya tidak berani ke dokter syaraf. Tuhan kemudian menyembuhkan saya tanpa intervensi medis atau obat, selelah apapun fisik saya, mata saya tidak akan tertutup dengan sendirinya lagi sampai sekarang.
Demikian banyak campur tangan Tuhan, pembelaan, pemeliharaan, yang kalau ditulis akan jadi terlalu panjang. Dan sepanjang apapun, pasti terlalu banyak yang tidak bisa ditulis karena banyak dianggap sebagai sesuatu yang alami terjadi, dan lebih banyak yang tidak diingat. Seperti sebagian besar orang percaya, saya juga sangat banyak lupa apa yang Tuhan sudah buat dalam hidup saya. Yang saya tidak bisa lupa dan cenderung diingat adalah doa yang belum terjawab, keinginan yang belum dikabulkan Tuhan.
Lho koq, sama dengan saya yang baca renungan ini pak?
Lha ya sama saja, masih sangat manusiawi koq. Senang toh, kalau dibilang gitu? Hehehehe
Mulai bekerja, uang mengalir, bisa beli apa yang saya ingini, tiap bulan punya jatah untuk beli buku rohani dan jatah beli pakaian baru yang sepotongnya ratusan US Dollar waktu itu. Prinsip hidup: anak tidak punya, istri tidak punya, uang buat siapa? Akhirnya memakai berkat Tuhan dengan tidak bijaksana. Karena kerja di pariwisata uang melimpah, hari ini dihabiskan, toh besok datang lagi, koq. Di kantor saya memegang divisi yang paling basah, dengan tamu-tamu dengan buying power yang tinggi. Komisi dari shopping mereka, komisi dari perusahaan untuk optional tours, tips, dll mengalir deras. Tidak pernah berpikir untuk investasi, hanya dihabiskan untuk pola hidup konsumtif. Walau ada sebagian kecil yang ditabung. Benarlah kalau dikatakan; orang miskin diberi uang sebanyak apapun tidak lama lagi ia akan jatuh miskin kembali.
Kemudian di akhir tahun 89, saya membuat kesalahan fatal. Saya menerima tawaran untuk pindah bekerja ke perusahaan lain. Setelah pindah ternyata fasilitas yang dijanjikan tidak pernah diberikan dan jabatan saya tidak seperti yang diharapkan. Hidup yang sudah enak jadi kacau balau karena salah melangkah. Setiap keputusan kontrak dengan hotel, perusahaan angkutan harus mendapat persetujuan dari kantor pusat. Dan menunggu keputusan turun dari kantor pusat mesti menunggu berbulan-bulan. Belum lagi untuk kontrak dengan perusahaan angkutan; petunjuk kantor pusat untuk tour & sightseeing harus memakai kendaraan bus yang menawarkan harga kontrak lebih mahal; karena owner punya hutang budi pada owner perusahaan angkutan itu. Padahal ada perusahaan angkutan dengan kendaraan-kendaraan bagus yang memberi harga kontrak jauh lebih murah dengan diskon lebih besar dari price list Pawiba (Persatuan Angkutan Wisata Bali). Semua jadi ruwet dan kacau balau. Bagaimana harga paket tour yang kita tawarkan ke biro perjalanan luar negeri bisa bersaing dengan perusahaan lain bila component quotation-nya lebih mahal? Dan saya melakukan kesalahan paling fatal yaitu terlalu dekat dengan “anak emas” direktur utama yang ditugaskan di Bali yang konon ada kedekatan khusus dengan sang direktur utama. Akibatnya saya kena penalti, kontrak kerja diterminasi oleh sang direktur utama kantor pusat di Jakarta. Nasib orang ganteng gitu.
Sebelum itu ada bank swasta yang sudah memiliki hotel dan perusahaan transport yang berencana ekspansi ke usaha Biro Perjalanan mendekati saya untuk menarik saya mengelola usaha baru mereka; dan sudah ada penjajakan ke arah itu. Dalam situasi dan kondisi seperti itu waktu saya berdoa saya mendengar Roh Kudus katakan; “Pulang!” Setiap kali saya memejamkan mata untuk berdoa selalu kata itu yang saya dengar. Pertama kali mendengar kata pulang, saya pikir itu pasti suara iblis, bukan suara Roh Kudus. Ini bukan Tuhan yang dikhotbahkan gembala saya bertahun-tahun, bukan Tuhan yang saya kenal. Saat awal panggilan adalah saat Tuhan menjungkir-balikkan pengertian dan pengenalan saya akan Tuhan; dan proses itu sudah berjalan beberapa dekade.
Beberapa bulan saya tidak taat dan memberi bermacam alasan untuk tidak pulang kampung. Setiap kali saya mendengar kata “pulang”, saya beri alasan-alasan logis dan berbagai pertimbangan bahwa saya tidak bisa pulang kampung. Pariwisata di daerah saya belum semaju Bali, di sana saya mau kerja apa. Bisa kelaparan saya kalau pulang. Kata gembala saya—yang tidak akan pernah saya lupa—adalah kalau saya dari kecil melayani Tuhan maka Tuhan akan membuat semua cita-cita saya tercapai. Lha, saya ndak bercita-cita jadi hamba Tuhan, saya sudah lama cita-citanya jadi pengusaha perhotelan.
Tetapi tetap saya mendengar kata yang sama; apapun alasan yang saya sampaikan hanya dijawab dengan perintah yang sama; “Pulang!” Ketika alasan yang saya berikan tidak ada satupun diterima, saya mengubah taktik untuk tetap tidak taat dengan mengajukan syarat: saya akan pulang dan tinggalkan semua karier, prestasi yang yang sempat saya toreh di dunia pariwisata bila Tuhan ijinkan saya menyelesaikan kursus komputer, sehingga nanti di kampung halaman saya bisa buka kursus komputer. Jawaban tetap kata yang sama “Pulang!” Saya tetap tidak menyerah begitu saja, saya ajukan syarat-syarat yang lain, tetap jawabannya; “Pulang!” Ada syarat yang saya tidak mungkin lupa, saya katakan Tuhan berikan saya tabungan sekian ratus juta, saya akan pulang, supaya saya tidak kekurangan nanti. Kembali satu kata yang sama yang saya dengar dengan jelas, “Pulang!” Tidak ada satu syarat yang saya ajukan yang ditanggapi ataupun disetujui.
Anehnya otak saya tiba-tiba mulai ingat salah satu doktrin semi benar semi sesat paling populer dari jaman dahulu sampai hari renungan ini ditulis; yaitu doktrin taat pasti diberkati.
Semi benar semi sesat apa maksudnya pak, mana ada doktrin kayak gitu?
Benar, kalau diartikan sesuai firman, kita taat kita semakin diberkati; makin mengenal Tuhan, makin berkenan kepada Tuhan, makin dekat Tuhan. Itu berkatnya. Sesat kalau diartikan dengan maksud hanya menyenangkan pendengar, memberi motivasi taat yang salah, bukan karena mengasihi Tuhan, tetapi karena mengharapkan upah dan berkat materi.
Pikiran mulai jalan, jangan-jangan ada berkat besar yang siap dicurahkan di kampung halaman kalau saya taat. Dengan pikiran itu saya pulang ke kampung halaman. Pulang kampung berbulan-bulan tidak ada apapun; semua berjalan seperti biasa dan keadaan menjadi semakin buruk. Akhirnya saya memutuskan untuk berusaha rumput laut spinosum. Setahun saya menanam rumput laut dan hal-hal aneh terjadi; pertumbuhan rumput lautnya luar biasa, panen yang sukses sudah di depan mata, sudah menyiapkan orang untuk panen besok pagi, malam itu ombak besar menghabiskan semua rumput laut yang tergantung di rakit; yang sisa cuma bongkol yang terikat di tali rakit.
Pantang menyerah, tanam lagi, tumbuh subur luar biasa; mendekati panen, kena musim ikan, abis semua dimakan ikan—rugi total. Tidak menyerah, lha hidup punya banyak kebutuhan, jadi harus ada penghasilan. Ora et labora, gitu.
Wuih, sama lagi kita sama bapak, semangat pantang menyerah. Seperti syair lagu; “ku tak akan menyerah pada apapun juga,”—walau ku makin remuk dan bonyok.
Ikut jual beli tanah yang lagi booming, kongsi dengan tante saya membeli tanah seluas 5.800 m2 di tepi jalan utama. Pikir bisa cepat laku dan dapat untung lumayan. Menteri Keuangan waktu itu Prof. J.B. Sumarlin melakukan kebijakan uang ketat (tight money policy) dan bunga bank sampai 29%. Remuk dah, tanah tidak ada yang beli. Bukannya untung malah kutung buntung melebihi puntung dengan rasa sakit lebih dari dipentung. Semua uang sisa kerja lenyap tidak berbekas dan satu demi satu barang-barang yang bisa dijadikan uang dijual. Semua barang koleksi hobi tidak ada satupun yang tersisa, bersih-sih-sih dijual. Akhirnya datang kepada Tuhan, mulai berdoa dan berseru kepada Tuhan.
Nah ini koq sama lagi ya pak dengan saya. Saya kalau tidak super kepepet ndak akan berdoa, saya coba dulu semua sampai mentok dan rambut rontok. Kalau semua buntu baru saya akan berdoa dan itupun lebih banyak saya titip doa ke sana sini.
Kalau saya beda pak, saya terima saja apa adanya, pasrah terserah Tuhan, tidak perlu doa, kalau memang itu kehendak Tuhan doa ya tetap percuma, terima saja dengan santai. Hidup ini memang banyak masalah. Mau apa lagi. Lebih baik gitu kan, ya, pak Asen?
Weleh dua-duanya tidak tepat, yang satu mokong dan malas, yang satu lagi apatis dan acuh.
Tapi Alkitabiah koq, sesuai kisah bapa yang punya dua anak yang keduanya bermasalah. Si bungsu bikin susah, si sulung juga bikin susah (Lukas 15:11-32). Dan anehnya tidak pernah saya mendengar sampai sekarang pengkhotbah yang menyinggung tentang si bapa yang tidak beruntung punya ada yang semuanya model hopeless. Bapa itu adalah gambaran Bapa di sorga yang punya anak-anak yang tidak bisa menyenangkan Dia dan tidak mengerti hatiNya. Makanya jangan ikuti si bungsu maupun si sulung tapi ikuti teladan Anak yang lahir di palungan di Bethlehem itu.
Ooooooo, ngerti saya sekarang.
Sehari saya bisa doa sampai 6-7 jam. Bisa puasa sampai 2 tahun, makan minum hanya jam 18.00 sore saja, setelah itu nunggu sampai jam 18.00 hari berikutnya baru makan dan minum. Tidak puasa hanya di hari minggu karena akan ke gereja supaya orang tidak menyingkir karena bau mulut. Di awal-awal doa puasa hanya menjerit minta tolong dikeluarkan dari liang tutupan proses ini. Seumur hidup saya telah banyak mengalami hal-hal yang menyakitkan, tetapi proses yang saya sedang alami lebih menyakitkan dari apapun yang menyakitkan yang pernah saya alami. Super menyakitkan, ini asli dapur apinya Nebukadnezar yang panasnya tujuh kali lebih panas dari dapur api biasa. Saya hanya minta Tuhan kembalikan saya ke pekerjaan, itu saja. Jadi manusia pengangguran tanpa status, tanpa penghasilan, benar-benar menghancurkan harga diri; memisahkan saya dari komunitas saya; jadi makhluk terasing dan mengasingkan diri karena minder super rendah diri. Remuk, boss.
Sudah gini panjang nulisnya dan saya sudah lelah baca lho pak, koq belum menyentuh inti sesuai judulnya dari tadi? Saya irit kuota lho pak untuk hal-hal rohani, kalau untuk hal-hal lain kuota unlimited dan on terus. Hiks.
Di awal Tuhan berurusan dengan hidup saya, Dia memanggil saya untuk meninggalkan semua karier, prestasi dan cita-cita hidup saya. Saya kaget dan menganggap itu dari iblis karena tidak sesuai dengan perspektif, persepsi, konsep, pengertian saya tentang Tuhan—kalau itu Tuhan, Dia tidak mungkin begitu. Dengan sadar saya sudah mengkotakkan Tuhan sesuai keinginan dan harapan saya—kalau itu Tuhan mestinya seperti ini! Akibatnya saya menolak ketika Dia mulai berurusan dengan saya untuk mengerjakan pekerjaan, kehendak dan rencanaNya baik dalam hidup saya dan melalui saya. Pengajaran firman susu hanya membuat kita tetap berpikir, berkata dan berbuat seperti kanak-kanak—it leads us to nowhere—cuma jadi penghangat bangku gereja. Ijinkan Tuhan menghancurkan pengenalan palsu kita akan Dia agar Dia bisa menyatakan diriNya sepenuhnya kepada kita.
Dia terus ingin menyatakan diriNya kepada saya, Dia tidak meninggalkan saya waktu saya menolakNya karena merasa itu pasti bukan dari Dia. Saya tetap menolak untuk taat dengan berbagai alasan dan pertimbangan manusiawi dan pola pikir duniawi, walau mengaku sebagai manusia sorgawi. Alasan dan pertimbangan membuktikan akal budi yang belum mengalami pembaharuan mind set; cara berpikir saya menolak apa yang ada di pikiran Tuhan yang akan Dia kerjakan di hidup saya.
Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. – (Yesaya 55:8-9)
Saya hafal ayat in tetapi prakteknya NOL besar.
Manusia punya berbagai alasan dan pertimbangan akal budinya sendiri sehingga sulit taat—sulit taat karena manusia lamanya tidak mau mengalami kematian; masih dipertahankan terus dengan berbagai cara dan segenap kekuatan; padahal makin dipertahankan makin lelah dan lemah—Tuhan koq dilawan.
Di fase ke-tiga, saya mengajukan syarat untuk taat, karena saya merasa perlu untuk mengamankan dan menjamin kelangsungan hidup saya. Ini fase krisis kepercayaan kepada Tuhan. Karena belum mengenal Tuhan dengan benar dan dalam, maka saya tidak terlalu percaya Dia akan bertanggung jawab dan akan memelihara hidup saya. Bagaimana kita bisa percaya tanpa mengenal dengan baik? Bagaimana bisa mengenal dengan baik bila menolak Dia yang mau mengenalkan diriNya lebih dalam kepada kita? Kita percaya kepada Tuhan—tetapi ujilah—seringkali kita lebih percaya kepada diri kita sendiri dari pada mempercayakan hidup kita kepada Dia!
Fase ke-empat saya harus mengalami proses penataan ulang hidup saya dalam demikian banyak aspeknya. Tuhan tidak melakukan proses tambal sulam dan renovasi seperlunya. Dia mencabut, meremukkan, merobohkan—bahkan mencabut sampai akar—baru meletakkan dasar yang benar dan membangun dan menata kembali hidup ini.
Terus apa hubungannya dengan firman Tuhan “Aku adalah Aku”, Om? Belum mengerti saya.
Aku adalah Aku.
Itulah jawab Tuhan kepada Musa.
Tuhan bukan cuma sekedar penolong, yang karyanya hanya menolong orang susah, kepepet, dll. Karena kalau kita berharap dan memperlakukan Dia sebagai penolong, ya Dia bukan Tuhan. Tuhan bukan hanya Juru Selamat; yang setelah kita diselamatkan, tidak ada lagi yang Dia kerjakan dalam hidup kita. Dia bukan sekedar Penebus; setelah menebus kita kemudian melepaskan dan membebaskan kita untuk mejalani hidup yang kita inginkan.
Lepas dan buang pengenalan sepotong-sepotong dan seenaknya kita sendiri tentang Tuhan. Ijinkan Dia memperkenalkan diriNya secara utuh kepada kita, maka kita tidak akan banyak mengeluh dan mempertanyakan Dia lagi.
Katanya Dia Penolong, saya sudah nunggu sedemikian lama dan masalah sudah sedemikian berat mana pertolonganNya?
Dia janji tidak akan terlambat, mana buktinya, harta benda sudah ludes untuk makan, belum campur tangan ilahiNya?
Dia katakan mengasihi saya, mana bukti kasihNya, hidup orang lain sukses semua, hidup saya cuma susah tok dari awal?
Aku adalah Aku—jangan batasi Dia sesuai kebutuhan kita dengan memakai ayat-ayat untuk mengklaim janji-janjiNya. Dia punya rencana, pikiran untuk hidup kita jauh dari apa yang kita bisa mengerti.
Biar Dia menjadi “AKu adalah Aku” dalam hidup kita, tidak sekedar Juru selamat, penolong, penyembuh, penasehat ajaib, raja dalam hidup kita.